Mohon tunggu...
Moh Sadli
Moh Sadli Mohon Tunggu... Insinyur - bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahaan milik negara

I am a dad with 3 boys surrounding, runner of half marathon, traveller and art enthusiasm Somehow the world become rude, therefore only happines vibe to share

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Panggilan Adzan di Tengah Lautan

5 Oktober 2016   14:38 Diperbarui: 5 Oktober 2016   19:16 825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wisata Bahari Sari Ringgung

Bagi sebagian kaum muslim, menjawab panggilan adzan adalah sunnah hukumnya terlebih ketika telah memahami besarnya fadhilah yang dijanjikan Tuhan kepada para hamba-Nya tatkala menyegerakan seruan adzan dan mengerjakan solat di awal waktu secara berjamaah. Sedikit mengutip pemahaman fiqh Islam bahwa dalam kondisi apapun melaksanakan solat berjamaah di mesjid tatkala adzan telah dikumandangkan adalah wajib bagi mereka yang mampu melaksanakannya tanpa udzur syari. Baik itu di daratan, bahkan sekalipun di lautan.

17 Januari 2016-

Suatu ketika dalam sebuah perjalanan menuju ke sebuah pulau kecil nan memukau di Teluk Pandan, pulau Pasir Timbul, dengan jarak tempuh menggunakan perahu kecil bermesin diesel sekitar 25 menit dari bibir pantai Sari Ringgung, atau kurang lebih berjarak 20 km dari Pusat Kota Bandar Lampung. Siapa yang tak kenal dengan pesona pantai Propinsi Lampung, dengan sederet pilihan wisata laut yang beragam, kekayaan biota laut yang variatif, gunung-gunung berapi sebut saja Anak Gunung Krakatau yang sudah masyhur di daratan Asia Eropa akibat letupan “sang Ibu” Gn. Krakatau tahun 1883 silam, menjadi lukisan alami sebagai latar belakang panorama lautnya. Sungguh menjadi suguhan yang tak terlupakan bagi siapapun yang pernah berkunjung kesana. Rasanya tak akan cukup seribu kata untuk menggoreskan pena dan melukiskan bagaimana ini semua itu menjadi warisan negeri yang patut kita jaga kelestariannya. Dan sungguh layak rasanya bila wisata bahari yang terdapat di Propinsi Lampung masuk dalam nominasi Anugerah Pesona Indonesia 2016.

Bibir Pantai Sari Ringgung
Bibir Pantai Sari Ringgung
Baik, sedikit deskripsi pesona alam Propinsi Lampung di atas memang bukan menjadi tujuan awal tulisan ini. Tapi dari sekian perjalanan wisata yang begitu memanjakan mata tadi terdapat satu kesan yang hendak saya ceritakan.

Pukul 11.35 WIB, kutolehkan pandanganku pada jam tangan Swiss Army yang kukenakan saat itu. Kupandangi langit dengan bauran awan cirrus yang samar, cuaca yang cukup bersahabat untuk mentadabburi alam, pikirku. Sesaat setelah menyentuhkan kaki di bibir Pantai Sari Ringgung, pantai yang secara resmi baru dibuka oleh Pemerintah Daerah setempat pada tahun 2015, dan bermaksud akan menuju ke pulau Pasir Timbul, pulau yang memiliki fenomena unik, yaitu pasir yang terbentuk secara alami di tengah lautan, pasir ini timbul ketika air laut surut pada waktu dhuhur. Ringkas cerita, saya memilih kapal yang hendak menyeberangkan saya ke pulau tersebut beriring dengan sekelompok orang yang juga memiliki tujuan yang sama. Belum jauh sang “nahkoda” kapal melepas jangkarnya, sesaat kemudian terdengar lirih suara adzan penanda waktu dhuhur telah masuk. Saya pun teralihkan dari yang tadinya masih menyela napas dengan udara laut lepas, tiba-tiba “terbangun” dan melintirkan pandangan sembari mencari sumber suara adzan tersebut.

Rupanya, tak jauh terlihat sebuah mesjid sederhana, biasa saja tidak ada hal yang membuatku decak kagum padanya selain karena memang lumrahnya mesjid tempat ibadah bahkan hanya berdindingkan kayu. Kecuali satu, mesjid tersebut berpondasikan air laut. Ya inilah the real mesjid terapung, yang berbeda dengan mesjid terapung Al Rahma di Laut Merah Jeddah atau Mesjid terapung Amirul Mukminim di Pantai Losari Makassar, yang secara harfiah sejatinya tidak terapung namun tetap berpondasikan beton tiang pancang sebagai penyanggah bangunannya sehingga secara visual hanya seolah-seolah terapung. Mesjid terapung Al Aminah, benar-benar terapung dalam arti sebenarnya tidak ada tiang pancang yang menancap ke dasar laut sebagai penopang bangunannya, tapi benar benar mengapung di atas air laut teluk Lampung. Namun mesjid ini terapung di antara bagan (tempat menangkap ikan yang terapung di atas laut) milik nelayan setempat yang bertebaran di lepas pantai wisata Sari Ringgung. Bagian samping masjid di lengkapi selasar yang bisa digunakan untuk bersantai atau istirahat. Sementara pada bagian kiri ada warung yang dibuka oleh marbot (penjaga masjid). Warung ini menjual aneka kebutuhan warga. Mulai makanan ringan hingga bahan bakar perahu nelayan yang biasa hilir mudik di perairan Ringgung. 

Mesjid Terapung al Aminah tampak dari bibir pantai
Mesjid Terapung al Aminah tampak dari bibir pantai
Saya pun meminta kepada sang nahkoda untuk mampir sejenak, tidak hanya sekedar menjawab panggilan adzan dan menunaikan shalat berjamaah tentunya. Namun keingintahuan saya bagaimana konstruksi bangunan terapung yang tersebut dan dari sumber listrik tentunya. Selepas waktu solat saya memutuskan untuk bertegur sapa dengan Bapak Pengurus Mesjid Al Aminah dan bersedia meluangkan waktu untuk sedikit berbagi cerita. Adapun niat untuk mengunjungi Pulau Pasir Timbul, ku urungkan di lain waktu. Sang nahkoda kapal pun kembali menderumkan mesinnya.

Selasar Mesjid Al Aminah
Selasar Mesjid Al Aminah
Dermaga Mesjid Al Aminah
Dermaga Mesjid Al Aminah
Menurut cerita dari Pak Haji Kosim, sebut saja begitu, listrik di sini menggunakan mesin diesel genset atau pembangkit sendiri dan dikelola secara swadaya, mengandalkan sumbangan infak dan shodaqoh dari para pengunjung dan nelayan. Pernah kata beliau, ada bapak calon anggota dewan yang menjanjikan litrik pada saat orasi kampanye. Namun entah, sampai sekarang belum jua ada kelanjutannya. “Listrik sangat penting di sini mas”, kata beliau lugas, “dipakai untuk mandi, wudhu untuk para pengunjung wisata pantai dan para nelayan. Apalagi mesjid ini sudah dipakai untuk solat Jumat berjamaah, menyelenggarakan pengajian rutin, dan kegiatan keagamaan lainnya”. Walaupun terletak di tengah laut, aktivitas keagamaan di sini lumayan aktif. Hampir setiap pekan ada pengajian di masjid unik ini. Ibu-ibu pengajian dari berbagai kota di Lampung biasa mengadakan pengajian di masjid ini. “Bahkan dalam beberapa kali”, lanjut Pak Haji Kosim, “entah karena kehabisan bahan bakar maupun karena peralatan genset rusak, si Muadzin bergegas ke pojok sisi luar kanan mesjid, sisi yang paling dekat dengan bibir pantai, lalu mengumandangkan adzan, dengan tanpa pengeras suara.”

Sejenak saya berpikir saat itu, bila sebuah mesjid sudah menyelenggarakan kegiatan keagamaan layaknya mesjid di daratan pada umumnya, apakah ini berarti mesjdid tersebut sudah dapat dikatakan layak untuk memperoleh akses listrik dari pemerintah. Atau karena terkendala geografis, sehingga urung jua memperoleh hak listrik. Ironi rasanya bila pemahaman untuk mendapatkan Sertifikat Laik Operasi (SLO) sebagai prasyarat pelayanan listrik, sedikit terhambat dengan beberapa dokumen permohonan yang rasanya sulit untuk dipenuhi oleh calon pelanggan. Memang,  penerbitan SLO oleh suatu badan hukum independen inilah akan menjadi justifikasi hukum yang sah dan sebagai tanda bahwa instalasi telah aman dan sesuai dengan standar yang berlaku. Namun, kembali lagi pada motto perusahaan dengan aset terbesar di Indonesia dan telah masuk dalam jajaran Global Fortune 500 ini, Listrik untuk Kehidupan yang Lebih Baik. Maka sudah sewajarnya lah listrik menjadi pendorong kegiatan ekonomi seluruh masyarakat Indonesia, termasuk para nelayan di sekitar pesisir laut Teluk Pandan.

Menilik cerita di atas dan menjadi saksi bahasan tulisan kali ini. Bagaimana listrik menyentuh hingga seluruh pelosok tanah air, di daratan pun bahkan (seharusnya) di lautan sekalipun. Keberadaan mesjid tersebut menjadi penghubung batin antara Tuhan dan hamba-Nya. Bagaimana syiar keagamaan begitu penting khususnya warga nelayan di sekitar pesisir, di tengah aktivitas kesehariannya menyisihkan sedikit waktu untuk “mengingat” dan berdoa kepada Tuhan.

Namun sekiranya saja, bila listrik dengan layanan penuh sudah dapat tersalurkan dengan baik khususnya untuk mesjid Al Aminah tersebut, tentunya akan semakin meningkatkan kualitas hidup dan keimanan para jamaah mesjid. Maka sungguh, listrik bukan akan hanya menjadikan kehidupan (duniawi) yang lebih baik, pun demikian mampu meningkatkan kualitas kehidupan untuk akhirat. Bila saja, sebuah mesjid kecil sederhana terapung di tengah lautan dan seorang muadzin mengumandangkan panggilan adzan dengan ataupun tanpa pengeras suara, dengan ataupun tanpa listrik, memanggil umat Islam untuk solat berjamaah maka apakah lagi yang menjadi penghalang kita untuk melangkahkan kaki ke mesjid. 

Sekiranya mereka mengetahui keutamaan shalat berjamaah, niscaya mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak, meskipun dengan sebuah perahu kecil.

               

twitter : @mochsadli

www.facebook.com/mohsadli

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun