Ada yang ingat pelajaran sejarah Indonesia. Mengapa bangsa Eropa, khususnya Portugis dan Belanda datang ke wilayah Nusantara? Yup, benar, karena mereka berburu rempah-rempah. Negeri kita yang berada di sekitar garis khatulistiwa sangat kaya akan tanaman penghasil rempah-rempah.Â
Rempah-rempah tidak ada di Eropa atau negara-negara dengan empat musim lainnya. Jadi mereka harus mencari di benua Afrika dan Asia yang iklimnya tropis. Rempah-rempah bukan hanya berfungsi sebagai bumbu penyedap masakan. Lebih dari itu, rempah-rempah dibutuhkan untuk bahan obat-obatan, vitalitas, pengawet makanan dan sebagainya. Nilainya sangat tinggi, melebihi emas. Harganya menjadi berlipat ganda ketika sudah sampai pasaran Eropa.Â
Tidak heran jika VOC sangat betah bercokol di negeri yang disebut mereka sebagai Hindia Belanda. Negeri ini dijadikan sumber keuangan yang bahkan bisa membangun kerajaan Belanda menjadi negara yang kuat secara ekonomi dan militer melampaui negara Eropa lainnya.Â
Nah, pertanyaannya, kenapa kita sekarang tidak mengoptimalkan rempah-rempah sebagai komoditas perdagangan utama. Perlu diketahui, ada lebih dari 400 jenis rempah yang bisa dihasilkan dari tanah air kita. Ini jelas merupakan potensi ekspor yang akan meningkatkan perekonomian masyarakat. Selain menghasilkan devisa, menjadi jalan untuk menyejahterakan rakyat Indonesia.Â
Menghidupkan Jalur RempahÂ
Beberapa hari yang lalu, saya diajak teman dan adik kelas, Dyah, bertemu dengan Prof. Yudhie Haryono Phd, Direktur Eksekutif Nusantara Center. Â Beliau adalah penggagas jalur rempah. Saya langsung mengiyakan karena ini berhubungan dengan sebuah obsesi menjadikan Indonesia negeri yang gemah ripah loh jinawi.Â
Saya tahu hanya orang-orang yang berjiwa nasionalis yang berani memperjuangkan kesejahteraan rakyat kecil melalui program jalur rempah. Sudah pasti, orang tersebut adalah orang yang paham sejarah dan ingin membaktikan diri kepada bangsa dan negara. Salah satunya adalah Prof. Yudhie ini. Dalam beberapa menit saja, saya merasa ada chemistry di antara kami.Â
Begini bunyi Trisakti:
1. Berdaulat di bidang politikÂ
2. Berdikari di bidang ekonomiÂ
3. Berkepribadian di bidang kebudayaan.
Jalur rempah merupakan salah satu cara untuk mewujudkan kemandirian di bidang ekonomi. Cita-cita Bung Karno, setiap daerah memiliki komoditas unggulan yang dapat memenuhi kebutuhan daerah lainnya, jadi saling memberikan subsidi ke daerah lain. Dengan saling mencukupi, maka kita tidak akan bergantung kepada negara lain. Semua bisa dihasilkan di dalam negeri. Luasnya wilayah Indonesia, dengan 17.000 pulau sangat memungkinkan hal itu terjadi.Â
Demikian pula dengan jalur rempah. Di setiap daerah ada rempah yang bisa menjadi komoditas unggulan. Misalnya wilayah Sulawesi dengan tanaman cengkeh, Maluku dengan kayu manis dan lada, Jawa Barat dengan buah pala dan seterusnya. Kalau semua bergerak secara serentak dan simultan maka kelak Indonesia menjelma menjadi penghasil rempah-rempah nomor satu di dunia. Tentu saja hal ini tidak mengesampingkan kebutuhan mendasar seperti beras.Â
Bayangkan, jika kita bisa ekspor ke seluruh dunia. Kita akan memperoleh hasil yang luar biasa, mampu menyejahterakan rakyat Indonesia. Dengan catatan, tentu harus dimanajemen dengan baik, pengelolaan profesional dan transparan, bebas dari praktik korupsi.Â
Program jalur rempah ini bisa dijalankan secara paralel dengan program lainnya. Karena Indonesia kaya akan berbagai potensi. Biarlah pariwisata juga meningkat, tetapi di sisi lain perekonomian melalui jalur rempah juga meningkat. Semua merupakan upaya kita bersama untuk bangsa dan negara Indonesia. Khususnya untuk mencapai cita-cita masyarakat adil dan makmur sesuai dengan yang diamanahkan UUD 1945.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI