Mohon tunggu...
Muthiah Alhasany
Muthiah Alhasany Mohon Tunggu... Penulis - Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah. Moto: Langit adalah atapku, bumi adalah pijakanku. hidup adalah sajadah panjang hingga aku mati. Email: ratu_kalingga@yahoo.co.id IG dan Twitter: @muthiahalhasany fanpage: Muthiah Alhasany"s Journal

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Mengulik Hubungan Ayah dan Anak dalam Film Pendek Istiqlal

1 April 2024   13:58 Diperbarui: 1 April 2024   14:11 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nobar bersama Komik adalah cara saya turut merayakan Hari Film Nasional. Sebuah film pendek berjudul Istiqlal digelar di Museum Penerangan yang berlokasi di dalam area Taman Mini Indonesia Indah (TMII), pada hari Sabtu, 30 Maret yang lalu. Selain komunitas ini, ada pula komunitas Muspen Bestie yang bersama-sama meramaikan event tersebut. 

Saya meluncur menggunakan commuter line dan turun di stasiun Cawang, setelah itu lanjut dengan berganti moda bus Transjakarta menuju TMII. Cuaca masih terik ketika saya memasuki gerbang utama. Berhubung waktu masih lama, saya manfaatkan dengan menikmati keliling TMII naik mobil listrik yang disediakan pengelola.

Museum penerangan sebetulnya tidak begitu jauh dari arah gerbang utama. Jadi banyak teman yang jalan kaki ke sini. Mereka sudah tiba lebih dahulu ketika saya sampai. Sudah ada admin Komik, Linda Erlina dan beberapa teman lain. Setelah menunaikan salat Ashar, acara pun segera dimulai. 

Pertama-tama ada perkenalan dari pengurus atau pihak Muspen, dipandu oleh dua gadis muda yang ceria. Kemudian barulah film pendek berjudul Istiqlal ditayangkan. Film pendek ini kira-kira hanya berdurasi sekitar 15 menit.

Sarat dengan pesan moral


Meskipun pendek, film Istiqlal memuat cukup banyak pesan tersirat untuk para penonton. Film sederhana yang digarap oleh sutradara Razny Mahardika ini menggambarkan hubungan seorang ayah dengan anak lelakinya. 

Kisahnya dimulai dengan sebuah motor yang dikendarai seorang ayah, yang dipanggil babe oleh anaknya. Ini menandakan bahwa mereka merupakan penduduk Betawi. Tetapi mereka telah lama meninggalkan Jakarta karena bermukim di Tangerang Selatan. Hal itu terlihat dari jalan yang dilalui adalah di kawasan Ciputat. 

Sang Ayah mengajak anaknya untuk mengunjungi masjid Istiqlal yang berada jauh di Jakarta Pusat. Dia memperbaiki sepeda motor tua milik engkong agar bisa mewujudkan hal itu. Dengan semangat tinggi mereka berangkat menyusuri jalan-jalan menuju masjid tersebut.

Namun karena si ayah sudah lama tidak bepergian ke Jakarta, ia tidak menyadari banyak perubahan yang terjadi. Karena itu dia mulai dilanda kebingungan menentukan jalan yang benar. Si anak bernama Sobari, merupakan generasi Z yang sudah mengenal aplikasi google maps di telepon genggam, menyarankan ayahnya menggunakan aplikasi tersebut. Sayang si Babe merasa gengsi dan berkeras menemukan jalan untuk ke tempat tujuan.

Akibatnya, beberapa kali mereka tersasar melalui jalan kecil dan gang-gang yang tidak dikenal. Meskipun begitu, mereka tidak menyerah. Babe menyempatkan diri menghentikan motor untuk bertanya  pada sekelompok tukang ojek dan emak-emak yang ditemui di perjalanan. Ketika Babe setuju mencoba google maps, malah   baterai telepon seluler tersebut habis.

Azan Maghrib terdengar, mereka belum tiba juga di masjid Istiqlal. Mereka berhenti di depan sebuah gereja di area Menteng. Kebetulan ada sekelompok anak muda yang membagikan takjil, mereka memperoleh dua bungkus. Ayah dan anak itu berbuka puasa dengan takjil dan minum air putih yang dibawa ayah dari rumah. 

Setelah berbuka puasa, Sobari kembali semangat. Ia mengajak ayahnya untuk segera melanjutkan perjalanan ke Masjid Istiqlal. 

Film ini menggambarkan kehangatan hubungan ayah dan anak laki-lakinya. Babe yang menyayangi Sobari, berusaha mengajak anaknya itu ke masjid terbesar di Asia Tenggara. Masjid yang dahulu semasa muda sering dikunjungi oleh dia. 

Perubahan zaman seiring dengan kemajuan pembangunan. Banyak hal yang berubah, kota Jakarta tidak lagi seperti yang dikenal Babe, tetapi tak mengurangi kebanggaan Babe pada kota besar ini. 

Sedangkan kemajuan teknologi menjadi gap atau kesenjangan antara dua generasi. Namun pada akhirnya sang ayah bisa menerima kenyataan tersebut. Ia mulai beradaptasi dengan teknologi informasi. 

Penampakan gereja menjadi simbol akan toleransi dan keberagaman di Indonesia. Semua penduduk bisa hidup berdampingan walaupun berbeda agama. 

Diskusi dengan sutradara

Usai pemutaran film, acara dilanjutkan dengan diskusi yang dipandu Dewi Puspa. Bincang-bincang seputar pembuatan film yang disutradarai Razny Mahardika tersebut.

Diskusi (dok.pri)
Diskusi (dok.pri)

Menurut Razny, proses pengambilan gambar/film berlangsung selama tiga hari. Hal ini disebabkan oleh tempat yang berbeda-beda. Misalnya di kawasan Ciputat, di Tanah Kusir, Kebayoran, hingga Menteng. 

Ada yang diambil dari dalam mobil, dan ada yang langsung di tempat. Memang lebih sulit jika dalam keadaan bergerak. Beberapa adegan justru diambil secara spontan, terutama yang menampakkan figuran orang lain yang kebetulan ditemui di perjalanan. 

Sutradara Razny Mahardika (dok.pri)
Sutradara Razny Mahardika (dok.pri)

Secara keseluruhan, film ini menarik dan mudah dicerna. Film ini terkesan alamiah karena menggambarkan kehidupan sehari-hari keluarga Betawi, dengan ciri karakter yang spesifik. Hanya saja, saya agak kecewa karena film berhenti sebelum tiba di masjid Istiqlal. 

Peserta nobar dan diskusi (dok.pri)
Peserta nobar dan diskusi (dok.pri)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun