Ada tim yang juga memandu kami di tempat ini selain Pak Edy. Antara lain, mas Hardhi, Mas Reno yang juga penerbang (pilot) dan La Ode, seorang teknisi pesawat, khususnya merawat helikopter Basarnas.Â
Sebetulnya, ada sepuluh penerbang yang bertugas mengoperasikan helikopter Basarnas. Tetapi yang kali ini hadir ada dua orang yaitu Reno dan Dimas yang menyusul belakangan.
Helikopter jenis AW Â 139 ini termasuk jenis baru pabrikan Italia, baru datang pada tahun 2020 yang lalu. Kapasitas angkut 15 orang, dengan dua awak. Tentu saja juga dilengkapi dengan Hoist permanen untuk membantu mengangkat korban bencana. Namun jika diperlukan, kursi-kursi penumpang bisa dilepaskan agar lebih fleksibel mengangkut korban.Â
Helikopter tersebut bisa bertahan selama enam jam dengan kecepatan 300 km perjam. Kalau bertugas ke tempat yang jauh, misalnya sewaktu penyelenggaraan balap MotoGP di sirkuit Mandalika, maka harus singgah di salah satu landasan udara untuk mengisi bahan bakar serta cek mesin.Â
Di samping helikopter besar tersebut ada dua helikopter ukuran sedang, yaitu Dauphine  AS369 N3+ yang mempunyai moncong seperti mulut lumba-lumba. Helikopter jenis ini merupakan keluaran pabrik Airbus di Perancis. Diproduksi sekitar tahun 2015. Masih terhitung armada baru. Dua helikopter ini terlihat unyu-unyu. Tapi jangan meragukan kemampuan menjelajah daerah bencana.Â
Terletak paling pojok adalah helikopter paling mungil, buatan PT Dirgantara Indonesia. Helikopter NBO 105, yang serupa rancangan Jerman, Helikopter Bolkow 105, dibuat sekitar tahun 1980-an. Saat itu nama PT Dirgantara Indonesia masih IPTN (zaman Orde Baru). Karena mungil, kapasitas hanya 4 orang, termasuk kru pesawat. Â
Helikopter ini memang bandel, sehingga masih bertahan dan berfungsi hingga sekarang. Dengan panjang 12 meter dan tinggi tiga meter, NBO 105 adalah helikopter yang lincah dan gesit. Dia mampu dibawa berakrobat di udara.Â