Kalau kita berjalan terus, bertemu dengan gapura kecil untuk masuk bagian dalam dari Kopi Lumbung Mataram. Nah, di sisi kanan ada seperangkat gamelan yang digunakan untuk belajar. Kalau mau foto di sini juga boleh, atau sambil memainkan gamelan.
Sedangkan di sisi kiri terdapat pendopo yang juga dilengkapi dengan beberapa set meja dan kursi antik. Bahkan di tengah, terdapat seperangkat kursi yang sudah langka, model sandaran sangat miring ke belakang sehingga orang bisa tertidur di situ. Saya tertarik dengan teras rumah yang terdapat cermin kuno dan sudut yang terdapat alat musik bas dan Celo.
Berhadapan dengan rumah juga terdapat pendopo kecil. Sedangkan yang paling pojok diberi tirai putih yang diikat, mengingatkan kita pada interior pernikahan. Karena tampak indah dan romantis, pengunjung yang baru pertama ke sini, mengira tempat itu tidak boleh untuk makan dan minum. Padahal bebas untuk dipilih sesuai romantisme yang muncul dari dalam jiwa.
Bagian depan rumah digunakan sebagian untuk musala, dan sebagian lagi untuk penyajian prasmanan masakan tradisional. Ada aneka lauk seperti sayur lodeh dan gudeg, tempe  tahu, acar, telur dan sebagainya.
Adzan Maghrib telah terdengar, maka saya pun menunaikan ibadah terlebih dahulu sebelum memesan makanan. Setelah itu saya memilih tempat di teras yang membuat saya merasa tenang.
Senja bergulir berganti malam. Cahaya lampu yang temaram menggantikan cahaya matahari. Bayang-bayang dedaunan menari dibuai angin, jatuh di antara lantai dan perangkat meja kursi yang digunakan.Â
Makanan khas Jogja
Makanan yang dapat dinikmati bisa dipesan atau langsung diambil secara prasmanan. Masakan khas Jogja seperti gudeg, jelas pasti ada dalam daftar menu makanan. Namun saya memutuskan memilih jenis makanan khas lainnya.
Karena saya suka bakmie Jawa, maka saya memesan satu porsi. Kali ini saya memesan versi goreng, mengingat dua minggu sebelumnya sudah makan bakmie Jawa godog di Cibinong.Â