Kalau sedang bertandang ke Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, saya pasti menyempatkan diri ke pulau Penyengat. Meski telah beberapa kali ke pulau kecil ini, saya tidak pernah bosan. Lagipula, mengelilingi pulau Penyengat hanya butuh waktu dua atau tiga jam saja.Â
Pulau penyengat hanya berjarak sekitar dua kilometer dari tepi laut Tanjung Pinang. Ada dermaga kecil di sebelah pelabuhan Bintan Pura yang menuju Batam dan Singapura. Dari dermaga ini kita harus naik perahu pompom selama 20 menit. Tiketnya Rp. 8.000 per orang, murah kan.Â
Pada zaman dahulu, Riau dan kepulauan Riau masih menjadi satu, yaitu Riau. Bahkan merupakan satu kerajaan dengan Johor. Pemerintahan berpusat di pulau Penyengat ini yang memiliki panjang 2000 meter dan lebar 850 meter.Â
Setelah turun dari pompom, untuk mengelilingi pulau lebih praktis menggunakan becak motor. Bayarnya Rp. 40.000,- dengan kapasitas dua orang. Tapi cukup luas area kaki jika ada anak-anak yang ikut.
Sebelum naik becak motor, singgah dulu ke masjid raya Sultan Riau. Masjid ini sangat bersejarah, dibangun pada masa Raja Haji Fisabilillah. Uniknya tidak menggunakan perekat semen, tetapi memakai putih telur. Masjid ini masih kokoh sampai sekarang. Di dalam masjid juga terdapat Alquran pusaka yang usianya juga berabad-abad.Â
Makam Raja Ali HajiÂ
Naik becak motor dengan trek yang tidak seberapa besar. Memang tidak ada kendaraan lain kecuali motor. Persinggahan pertama adalah kompleks makam Raja Ali Haji. Ini adalah kompleks makam utama.
Raja Ali Haji lahir pada tahun 1809, keturunan Bugis -Melayu. Ia ikut menunaikan ibadah haji bersama ayahnya pada usia muda, tahun 1821  berusia 13 tahun. Raja Ali Haji ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah pusat pada tahun 2004.Â
Beliau yang membakukan bahasa Melayu, induk dari bahasa Indonesia. Selain itu menulis sejarah Bugis -Melayu di Riau . Karya sastranya yang terkenal adalah Gurindam 12 pasal yang mengandung nasihat kehidupan, diciptakan tahun 1847. Raja Ali Haji seorang pujangga yang juga mendapat julukan Bapak Bahasa.
Namun Raja Ali Haji ditetapkan sebagai pahlawan bukan hanya karena berjasa di bidang bahasa dan sastra. Dia juga melakukan perlawanan kepada penjajah Belanda yang berusaha memasuki Riau. Ada benteng pertahanan di tengah pulau Penyengat. Raja Ali Haji meninggal di pulau ini sekitar tahun 1873.
Makam Raja Ali Haji sendiri ada di bagian luar dekat pintu gerbang. Sedangkan di dalam rumah (ruangan khusus) adalah makam Raja Hamidah, yang merupakan Tante dari Raja Ali Haji. Di dalam ruangan Raja Hamidah, dindingnya dipenuhi gurindam 12 pasal.Â
Ada seorang kuncen (penjaga makam) yang akan menjelaskan sejarah tentang kesultanan Riau, terutama keluarga Raja Ali Haji. Nah, sebaiknya kita memberi sumbangan seikhlasnya kepada kuncen tersebut.Â
Jangan lupa juga berdoa di sana. Menurut kuncen, berdoa di sana Insya Allah makbul karena mereka adalah para waliyullah. Boleh percaya boleh tidak. Kalau saya, jelas mendoakan beliau-beliau untuk mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah SWT. Â
Lalu kita melanjutkan perjalanan dengan becak motor. Banyak kompleks makam raja-raja lainnya, tapi karena sudah pernah beberapa kali, saya tidak mampir. Kita juga melewati istana kantor. Istana ini yang menjadi pusat pemerintahan kesultanan Riau, masih kokoh meski tidak boleh dimasuki pengunjung.Â
Balai adat Melayu
Persinggahan yang menarik adalah ke balai adat Melayu yang letaknya juga di depan pantai. Balai adat ini dahulu merupakan tempat warga masyarakat menyampaikan pendapat kepada Sultan. Di sini pula pertemuan para pejabat kerajaan untuk membicarakan permasalahan yang ada di masyarakat.Â
Di balai adat ini terdapat buku-buku sejarah dan sastra Melayu. Jadi kalau ingin mendalami bahasa dan sastra Melayu, datanglah ke pulau Penyengat. Terutama untuk para mahasiswa jurusan sastra Melayu.Â
Bagi wisatawan, hal yang menarik adalah Balairung tempat Raja yang bernuansa kuning keemasan. Â Pakaian menentukan derajat kebangsawanan. Raja biasanya menggunakan warna kuning emas.Â
Kalau mau foto dengan baju adat, telah tersedia di sana. Baju adat disewakan seharga Rp.25.000. Jangan kuatir, nanti dibantu pakai oleh seorang ibu yang menjaga.Â
Bukit kursi
Kalau belum lelah, kita bisa naik bukit kursi. Di atas bukit ada benteng pertahanan yang dilengkapi meriam. Kita melewati kompleks makam lain untuk menuju ke sana. Kalau sedang sepi, suasananya cukup menggetarkan.Â
 Benteng dikelilingi parit yang dalamnya sekitar tiga meter. Ada sebuah gazebo yang dibuat untuk pengunjung. Di setiap pojok ada sebuah meriam kuno. Nah dari atas itu tampak pemandangan laut ke arah Batam dan Singapura. Jika kapal Belanda datang, pasti segera terlihat.
Sayangnya saat ini kondisi bukit kursi tidak terurus. Jembatan kayu yang menghubungkan telah lapuk, beberapa bagian patah. Jembatan ini menjadi berbahaya bagi wisatawan. Karena itu benteng pertahanan tersebut terpaksa ditutup.Â
Dari bukit kursi, tinggal jalan beberapa puluh meter kembali ke dermaga. Saya sempatkan dulu salat di masjid raya Sultan Riau. Kebetulan sedang ada renovasi, temboknya mau dicat ulang.
Kalau tidak terburu-buru, santai sejenak di warung makan dekat dermaga. Banyak masakan seafood yang enak. Ikan-ikan itu dijamin segar, dari laut sekitar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H