Mohon tunggu...
Muthiah Alhasany
Muthiah Alhasany Mohon Tunggu... Penulis - Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah. Moto: Langit adalah atapku, bumi adalah pijakanku. hidup adalah sajadah panjang hingga aku mati. Email: ratu_kalingga@yahoo.co.id IG dan Twitter: @muthiahalhasany fanpage: Muthiah Alhasany"s Journal

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mahsa Amini dan Politik Pembusukan Iran dari Dalam (Bagian Pertama)

3 Oktober 2022   16:30 Diperbarui: 3 Oktober 2022   17:10 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara kasat mata, kematian Mahsa Amini di Iran menumbuhkan solidaritas wanita di seluruh dunia. Gelombang demonstrasi yang menentang pengekangan terhadap hak-hak perempuan Iran terjadi di berbagai negara. Tidak hanya di Amerika Serikat, tetapi juga sudah menjalar ke Inggris dan Eropa. 

Tragedi yang menimpa Mahsa Amini membuat masyarakat internasional semakin yakin bahwa agama Islam mengekang kebebasan perempuan. Di samping itu, Iran dianggap Negara Islam yang kejam terhadap perempuan. Betulkah demikian? 

Stigma seperti itulah yang diharapkan oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Karena mereka berkepentingan untuk mengalahkan Iran dan mengambil alih sumber migas di dalamnya. Iran, sampai saat ini belum berhasil ditaklukkan. Isu tentang pembuatan senjata nuklir ternyata tidak cukup ampuh menggoyang Iran. 

Apakah itu berarti kita mengabaikan peristiwa yang dialami oleh Mahsa Amini? Ada baiknya kita melihat lebih jauh tentang siapa Mahsa Amini. Betulkah dia sebagai korban atau justru orang suruhan. 

Sependek pengetahuan penulis, yang pernah ke Iran beberapa tahun lalu, sebetulnya peraturan mengenakan jilbab tidak seketat yang digembar-gemborkan media barat. Di pasar-pasar yang ada di kota dekat perbatasan Turki, banyak yang mengenakan kerudung yang tidak terlalu rapat, ada yang memperlihatkan sedikit rambut. 

Peraturan ketat diberlakukan di kota suci Iran, Qom di mana pimpinan spiritual Iran berada di sana. Sedangkan di wilayah lain agak longgar. Polisi moral, yang merazia kaum wanita yang tidak memakai busana rapat, juga tidak keliling setiap hari.

Mari kita telaah beberapa hal:

1. Mahsa Amini adalah gadis dari  suku Kurdi dari kota Saqiz yang berada di perbatasan Iran dan Irak. Suku terbesar di Iran adalah suku Parsi. Sedangkan suku Kurdi mendiami pegunungan di perbatasan tiga negara, Iran, Irak dan Turki.

Suku Kurdi selalu berusaha mendirikan negara sendiri. Mereka melakukan perlawanan dan pemberontakan di tiga negara tersebut. Dari mana mereka mendapat dana? Tentu dari pihak yang menginginkan kekacauan di Timur Tengah yaitu Amerika Serikat dan sekutunya. Suku Kurdi dipersenjatai agar terus merongrong negara yang ditumpanginya.

Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan sejak lama memperingatkan Amerika Serikat agar berhenti menyokong suku Kurdi. Erdogan mensinyalir bahwa negara adidaya tersebut menyuplai suku Kurdi yang bergabung dalam kelompok teroris PKK yang berusaha memberontak dari Turki. 

Maka, sangat relevan jika kita menduga apakah Mahsa Amini merupakan martir yang dipasang untuk membuat instabilitas politik di Iran. Kalau benar, rencana itu hampir berhasil. Demonstrasi membela Mahsa Amini menimbulkan kerusuhan yang memakan 45 korban jiwa. Setelah itu masih ada gelombang protes di beberapa tempat serta di negara-negara lain. 

Namun Presiden Iran saat ini, Ebrahim Raisi cukup menyadari potensi instabilitas karena peristiwa Mahsa Amini. Di satu sisi memerintahkan pengusutan terhadap aparat terkait, di sisi lain berusaha meredam kegelisahan masyarakat. Kalau salah langkah, politik pembusukan Iran dari dalam akan berjalan sesuai rencana negara adidaya. 

2. Provokasi untuk memberontak kepada pemerintah Iran, sangat gencar di  dunia maya, melalui media sosial dari jejaring internet. Padahal media-media mainstream justru tidak banyak memberitakan. 

Hal ini mengingatkan peristiwa di Mesir, di mana CIA menggunakan Facebook untuk mengobarkan pemberontakan. Akibatnya, Jenderal Abdul Fattah As-Sisi berhasil menggulingkan pemerintah yang sah. 

Berbeda halnya dengan Ebrahim Raisi, yang segera mengambil tindakan untuk mematikan internet. Langkah jitu untuk meredam gejolak di dalam negeri.  Walaupun reaksi di dunia internasional masih berlangsung setidaknya keamanan di dalam negeri bisa dikendalikan. 

(Bersambung Bagian Dua)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun