Uni Eropa menerapkan standar ganda terhadap pengungsi dari wilayah konflik. Diskriminasi ini berlaku sudah puluhan tahun, sejalan dengan garis kebijakan politik negara-negara anggota. Sebagian besar adalah sekutu Amerika Serikat, terutama Inggris dan Eropa Barat.
Amerika Serikat dan sekutunya mengobrak-abrik Timur Tengah, dan menguasai sumber daya alam di kawasan tersebut. Tetapi mereka tidak peduli dengan rakyat di negara-negara konflik yang diciptakan. Lihat saja rakyat Irak, Yaman, Suriah, Afghanistan dan Palestina.
Banyak orang yang berusaha mengungsi, ingin mencoba bertahan hidup di negara lain. Eropa menjadi tujuan karena dinilai aman dan makmur. Mereka menjadi pendatang ilegal, dengan menggunakan perahu atau kapal laut. Dengan mempertaruhkan nyawa melintasi laut dalam, mereka berharap akan mempunyai kehidupan baru yang lebih baik. Sayangnya tidak demikian.
Negara-negara Uni Eropa tidak menyambut para pengungsi dari Timur Tengah dengan baik. Orang-orang yang berusaha memasuki perbatasan, seringkali mengalahkan nasib buruk. Mereka diusir kembali dengan kekerasan. Bahkan di antaranya dibunuh dengan senjata.Â
Hal itu masih berlangsung hingga sekarang. Sebagai contoh, Yunani yang tidak segan-segan melempar pengungsi ke laut. Petugas Yunani juga kerap menembaki para pengungsi. Karena itu, sangat miris mendengar pengungsi yang tewas ketika hendak mencari keselamatan di negara lain.
Namun sikap Uni Eropa terhadap pengungsi dari Ukraina sangat berbeda. Kenapa? Beberapa dugaan, karena etnis yang lebih mirip, kulit putih, rambut pirang dan bermata biru. Selain itu karena sama-sama berada di benua Eropa.
Satu hal yang jelas, hal ini disebabkan kepentingan Uni Eropa di Ukraina, yang hendak dijadikan negara boneka oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Presiden Ukraina saat ini sangat pro dengan negara-negara Barat.Â
Sejatinya, Uni Eropa belum tentu menang dalam percaturan politik di Ukraina. Rusia terlalu tangguh, sangat sulit untuk dijatuhkan. Rusia di bawah Vladimir Putin menjadi perkasa, tidak seperti Uni Soviet ketika dipimpin oleh Gorbachev.
Uni Eropa justru mempertaruhkan nasibnya sendiri. Di tengah kebangkrutan ekonomi karena pandemi, harus menanggung beban pengungsi dari Ukraina. Begitulah, berlaku pepatah; siapa menabur angin akan menuai badai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H