Hal yang paling menggelikan dari masalah lenyapnya tempe dan tahu di pasar adalah ramai-ramai menyalahkan babi. Media mainstream menggiring opini masyarakat untuk menyalahkan hewan tersebut. Apa salah babi? Karena menjadi hewan ternak terbesar di Cina.Â
Memang betul bahwa Cina mengimpor kedelai untuk menjadi pakan babi. Tapi letak persoalan bukan itu. Ada beberapa faktor lain yang turut mendorong kelangkaan kedelai dan membuat harganya naik drastis.
Faktor pertama adalah cuaca buruk yang melanda negara-negara produsen kedelai. Terutama negara-negara di kawasan Amerika Latin. Brazil yang menjadi produsen terbesar mengalami penurunan produksi kedelai karena cuaca buruk sehingga gagal panen.
Begitu pula yang terjadi dengan negara tetangga lainnya. Bahkan Argentina menyetop ekspor kedelai. Selain cuaca buruk, mereka menghadapi masalah pengiriman di pelabuhan.
Faktor kedua, di saat terjadi penurunan produksi kedelai, Cina justru memperbesar impor. Maksudnya untuk cadangan makanan babi yang mereka ternakkan. Akibatnya negara-negara pengimpor lain jadi kesulitan mendapatkan kedelai.Â
Fakta menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara pengimpor terbesar kedua setelah Cina. Kedelai merupakan bahan makanan utama bagi penduduk Indonesia. Tempe dan tahu bagai sesuatu yang wajib untuk dikonsumsi.Â
Inti persoalannya, mengapa kita menjadi pengimpor kedelai? Padahal kita adalah negara agraris yang penduduknya sebagian besar adalah petani. Dengan luas wilayah yang jauh di atas negara-negara Amerika latin. Kalau Brazil dan Argentina mampu menjadi produsen kedelai, mengapa kita tidak? Pertanyaan yang sama mengenai garam, dua pertiga wilayah Indonesia adalah lautan, mengapa kita menjadi pengimpor garam?
Problem klasik yang kita hadapi yaitu korupsi. Sejak zaman Orde Baru, para pejabat pemerintah lebih suka impor daripada membudidayakan sendiri bahan-bahan pangan yang dibutuhkan rakyat. Sebab mereka mendapat jatah sekian persen dari pengusaha.Â
Upeti pengusaha membuat para pejabat terkait terlena. Mereka bisa hidup berfoya-foya hingga tujuh turunan. Jadi, kalau ada cara mudah menjadi "sultan", untuk apa bekerja keras membangun negeri?
Maka tidak pernah ada kesungguhan dari pemerintah untuk bangkit melakukan swa sembada bahan pangan. Swa sembada hanya sebatas slogan atau retorika untuk menarik perhatian masyarakat agar tetap memilih mereka.Â
Selama puluhan tahun, tidak ada perkembangan yang berarti dari bidang pertanian. Mafia dibiarkan merajalela menguasai pupuk dan pemasaran. Petani tidak pernah untung. Untuk bertahan saja sudah luar biasa.Â
Sistem perekonomian yang berjalan di negeri ini justru bertolak belakang dengan cita-cita para pendiri bangsa. Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 diabaikan begitu saja oleh mereka yang punya kedudukan dan wewenang. Alhasil, rakyat yang harus menanggung penderitaan.
Harus ada revolusi di bidang pertanian. Tetapi permasalahannya, kepada siapa kita bisa berharap? Di DPR bercokol wakil partai, bukan wakil rakyat. Mereka hanya memikirkan kepentingan kelompok sendiri. Demikian pula pejabat-pejabat yang memiliki kekuasaan, tertawa di atas penderitaan rakyatnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H