Menjadi kurus di masa pandemi adalah sesuatu yang nyaris mustahil. Padahal penghasilan jauh menurun, tetapi makan justru bertambah banyak.
Penyebab bertambahnya berat badan antara lain; pertama karena kurang aktivitas. Keadaan memaksa kita lebih sering di rumah untuk mengurangi risiko penularan virus Corona.
Kedua, mengisi waktu luang dengan menyantap makanan. Buah keisengan berada di rumah adalah mengunyah apa saja yang ada. Kalau tidak ada, pasti beli di warung terdekat atau online.
Hal ini dilakukan oleh sebagian besar dari kita, termasuk saya sendiri. Aktivitas saya biasanya keluar rumah, pergi yang jauh sehingga makanan berubah menjadi tenaga.Â
Selama pandemi, aktivitas berkurang dan asupan tetap, itu saja membuat tubuh menjadi gemuk. Apalagi jika ditambah jam-jam iseng, ngopi sambil makan cemilan terasa nikmat. Alhasil berat badan melonjak beberapa kilogram.
Semenjak divaksin, saya bertekad melakukan aktivitas lagi. Sayangnya peraturan perjalanan menggunakan kereta maupun bus, harus membawa surat keterangan bekerja. Untuk seorang freelancer, tidak mudah mendapatkan surat itu.
Ketika PPKM dilonggarkan, saya menarik nafas lega, setidaknya ada kesempatan bepergian. Tetiba ada acara keluarga yang diselenggarakan di kawasan Puncak. Nah ini kesempatan bagi saya untuk melatih kembali anggota tubuh yang sudah kaku.
Untunglah kami menggunakan mobil pribadi, jadi saya tidak susah payah mencari surat keterangan. Dengan mobil kakak, meluncur ke wilayah Puncak seminggu yang lalu.
Ke Gunung Padang
Kalau saudara dan keponakan perempuan lebih suka berada di dalam villa, saya justru mengajak keponakan laki-laki untuk pergi ke situs megalitikum Gunung Padang. Tidak begitu jauh karena villa yang kami sewa ada di Cipanas. Kebetulan mereka belum pernah ke sana.
Pertama ke Gunung Padang pada tahun 2015 naik motor bersama seorang keponakan laki-laki. Waktu itu saya masih cukup langsing, sehingga mampu memanjat tangga batu yang terjal sepanjang 300 meter.
Eh, kali ini saya tahu diri, tidak yakin akan kuat melewati tangga batu tersebut. Maka saya mengajak yang lain lewat tangga buatan (semen) yang lebih landai sepanjang 500 meter. Ini pun berhasil dilewati dengan susah payah. Nafas ngos-ngosan sesampainya di atas.
Namun kakak saya yang paling lambat karena memang dia lebih tua dan tidak pernah ke tempat ini. Tetapi sesampainya di atas, dia justru lebih dulu selfie, hehehe. Sedangkan saya sibuk menerangkan apa yang saya ketahui tentang situs megalitikum ini kepada keponakan.
Pulangnya, kami melewati tangga yang sama. Saya tidak tergesa-gesa karena sambil menghirup udara segar di sini. Saya lepas masker karena sepi pengunjung dan agar bisa bernafas lega.
Malamnya, kaki saya agak kram. Maklum sudah lama tidak naik gunung, otot-otot menjadi kaku. Ini justru membuat saya mewajibkan diri sendiri agar semakin sering ke alam terbuka.
Ke kebun raya Cibodas
Hari kedua kami ke kebun raya Cibodas, yang cuma setengah jam dari villa. Ke sana harus di bawah jam sebelas agar mobil bisa masuk.
Tiket dibeli secara online oleh keponakan, diperlihatkan pada petugas. Selain itu juga diperiksa sertifikat vaksin. Tapi hanya yang duduk di depan, kami yang di belakang tidak diperiksa.
Setelah parkir, mencari tempat gelar tikar untuk piknik. Semua makanan dikeluarkan. Tetapi saya dan beberapa keponakan memilih naik ke atas meski harga mendaki anak tangga lagi. Kebun raya ini cukup luas, cukup membuat kita lelah mengelilingi.
Sayangnya keponakan perempuan lebih cepat lelah, jadi mereka tidak mau diajak ke tempat yang lebih jauh. Padahal ada Curug yang menarik di dekat pintu dua.Â
Kami pulang dalam keadaan lelah dan puas. Saya bertekad akan secepatnya kembali melakukan petualangan di alam terbuka untuk mengurangi berat badan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H