Gonjang-ganjing partai Demokrat menimbulkan rasa kasihan dan prihatin terhadap mantan presiden, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Betapa harapannya akan masa depan anak agar gemilang malah hancur berantakan. SBY ditelikung oleh anak buahnya sendiri.
Selama puluhan tahun berkecimpung dalam politik, seharusnya SBY menyadari bahwa akan selalu ada pengkhianatan dari dalam. Keluarga saja bisa berkhianat, apalagi yang tidak memiliki hubungan darah. Bukan hal yang aneh bila ada teman saling menikam dari belakang.
Politik hanya menyatukan kepentingan yang sama. Tidak ada teman atau lawan yang abadi. Jangan mudah mempercayai seseorang, bersiaplah untuk hal yang paling pahit. Pengkhianatan bisa dilakukan oleh siapa saja, maka itu harus waspada.
Seandainya SBY belajar dari pengalaman masa lalu, ketika Megawati Soekarnoputri menjadi presiden. Ia tahu dan menyaksikan bagaimana PKB terbelah dua. Ini adalah pola yang akan terulang di partai manapun.
Terlepas dari benar tidaknya keterlibatan pemerintah pada waktu itu, kenyataan menunjukkan Matori Abdul Jalil yang berani 'menduakan' PKB. Gus Dur telah dikhianati dari dalam dan dari luar partai.
Selanjutnya, terjadi pula perpecahan pada partai-partai lain. Perlu waktu yang.lama dan proses yang alot untuk menyatukan kembali dua kubu yang terlanjur berpisah. Hanya dengan kepemimpinan yang baik maka partai yang pecah bisa bersatu lagi.
Karena itu seharusnya SBY bersiap terhadap kemungkinan pahit dengan pecahnya partai Demokrat. Partai ini bukan partai sakti yang tak bisa digoyang oleh orang lain. Ingatlah, SBY hanya mantan presiden, tidak lagi memiliki kekuasaan.
Mengapa kewaspadaan SBY seakan tumpul? Ada beberapa faktor yang memengaruhi pemikiran mantan presiden ini. Pertama, dia orang yang baper. SBY lebih banyak menggunakan perasaan ketimbang logika. Padahal ini bisa melemahkan naluri yang menunjukkan jalan kebenaran.
Kedua, SBY tidak berada dalam keseimbangan mental semenjak sang istri meninggal dunia. Kesedihan yang berlarut-larut membuat kecerdasannya berkurang, tidak mampu berpikir panjang. Selain itu, SBY berfungsi menjadi ayah dan ibu sekaligus, beban berat yang dipikulnya di masa tua.
Ketiga, SBY dibutakan oleh ambisinya menjadikan anak kesayangan sebagai orang penting di negeri ini. Tanpa memperdulikan proses, ia ingin anaknya mencapai karir puncak politik selagi masih hidup.
Ketiga faktor tersebut menjadi kelemahan bagi SBY. Kelemahan yang membuat ia lengah terhadap apa yang bisa terjadi pada partai Demokrat. Akhirnya ia tidak sempat mengantisipasi seperti sekarang ini.