Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading. Begitupun pepatah lama yang melekat dalam ingatan saya. Tetapi untuk seorang Thamrin Dahlan, kelak yang ditinggalkan adalah wakaf Literasi.
Pak Thamrin Dahlan, kompasianer senior yang telah 10 tahun menulis di Kompasiana. Sama dengan saya. Kami, seperti juga Pak Tjipta dll telah menulis di platform ini ketika belum banyak orang yang melakukannya.
Pada tanggal 19 Agustus merupakan awal keberadaan Thamrin Dahlan di Kompasiana. Untuk memperingati hal itu, kami berkumpul di tengah pandemi tanpa mengabaikan protokol kesehatan yang dianjurkan pemerintah.
Bertempat di sebuah kafe di kawasan Margonda Depok, 15 orang hadir. Saya sengaja memilih tempat ini agar teman-teman mudah mencapai dengan kereta. Kebetulan saya dipercaya sebagai host acara ini.
Dalam acara ini ternyata Pak Thamrin Dahlan memperkenalkan Yayasan Pustaka Thamrin Dahlan (YPTD) yang didirikan untuk menerbitkan buku. Ada yang istimewa di sini, YPTD bisa membantu teman-teman kompasianer secara gratis.
YPTD akan membantu menerbitkan buku dengan ISBN. Buku ini sebagai master, yang kelak bisa diperbanyak sesuai berapa eksemplar yang kita inginkan. Sebagai master, buku ini juga mudah untuk direvisi, ditambah atau dikurangi.
Padahal, menurut Pak Thamrin Dahlan, buku adalah mahkota penulis. Buku adalah bukti bahwa seseorang itu memang berkiprah sebagai penulis. Dalam hati saya berjanji akan segera menerbitkan buku dengan bantuan YPTD.
Tidak banyak orang yang memiliki ide memberi wakaf di bidang literasi, sesuatu yang sebetulnya sangat berarti. Karena hal itu berarti kita turut memberikan ilmu pengetahuan kepada masyarakat.
Dalam pengelolaan yayasan ini, Pak Thamrin Dahlan dibantu seorang keponakan yang bernama Doni. Pria muda ini adalah pengusaha yang cukup sukses.
Wakaf Literasi ini merupakan dua sisi mata uang, memberikan pahala kepada yang mewakafkan dan sumbangsih ilmu kepada orang yang membutuhkan. Wakaf yang abadi baik untuk Pak Thamrin Dahlan.