Seminggu yang lalu saya melakukan perjalanan ke Rembang, kali ini bersama Wardah Fajri, mantan admin Kompasiana. Sebetulnya banyak tujuan ke sana, tetapi karena Rembang juga dikenal sebagai kota RA Kartini sebagaimana Jepara, maka kami mengunjungi museum RA Kartini.
Rembang ada di jalur Pantura, yang termasuk wilayah Jawa Tengah. Udara di sini sangat panas, maklum dekat dengan pantai. View belakang dari hotel adalah laut Utara dengan perahu nelayan berseliweran.
Museum RA Kartini terletak di jantung kota Rembang, tidak jauh dari alun-alun. Karena hotel tempat kami menginap persis di depan alun-alun, maka kami cukup berjalan kaki ke museum RA Kartini sekitar 200 meter saja.
Museum ini dahulu merupakan tempat tinggal Bupati Rembang, yang juga adalah suami dari RA Kartini. Rumah yang memiliki ciri khas sebagai rumah seorang bangsawan Jawa.
Untuk memasuki area museum, ada pintu gerbang yang megah dengan arsitektur tempo dulu. Ada papan penjelasan dekat sisi gerbang tentang keberadaan museum ini.
Setelah melewati pintu gerbang kita akan melihat halaman luas yang ada di depan museum. Ada taman dengan pohon rindang, tanaman bunga perdu dan kolam ikan.
Di sebelah kanan kita akan melihat sebuah mushola. Tentu saja mushola ini adalah bangunan baru yang ditambahkan dalam beberapa tahun terakhir.
Sedangkan di sebelah kiri, ada bangunan kuno yang tidak begitu besar. Ternyata bangunan ini digunakan oleh ibu Kartini untuk mengajar. Sebuah patung yang menyerupai RA Kartini terletak di depan pintu. Sayangnya pintu ruangan tertutup sehingga saya tidak bisa mengintip ke dalam.
Beberapa pohon beringin besar yang entah berapa umurnya berdiri tegak di dekat ruang mengajar. Paling asyik berteduh di situ dengan semilir angin sepoi-sepoi.
Tetapi kami tidak ingin dibuai angin sehingga segera berjalan menuju bangunan utama. Rumah Bupati Rembang yang telah diubah menjadi museum RA Kartini.
Seperti biasa bentuk rumah bangsawan, ada pendopo (beranda) luas tempat dimana mereka menerima tamu. Jejeran kursi kayu dengan tata letak yang sama di setiap pendopo bangsawan. Langit-langit tinggi dihiasi lampu hias yang juga besar.
Sebelum memasuki museum, kami membeli tiket yang harganya sangat murah, cuma dua ribu per orang. Setelah berpose di depan pintu masuk, kami mulai menyusuri ruangan satu persatu.
Ruang tamu berisi silsilah keluarga, baik dari RA Kartini maupun suaminya. Selain itu ada ukiran kayu di dinding sebelah kanan dan juga pembatas dengan ruang tengah.
Di sebelah kiri dari pintu masuk, ada ruangan bertuliskan "Ruang Pengabdian RA Kartini" yang ternyata adalah kamar tidur beliau. Beberapa perangkat pribadi masih tampak utuh seperti ketika pahlawan wanita ini masih hidup.
Ada ranjang kayu ukir buatan Jepara, ada  meja hias tempat RA Kartini berdandan, ada pula meja untuk merawat bayi. Sebuah lukisan wajah RA Kartini melengkapi ruangan yang tidak begitu besar ini.Â
Mengapa kamar ini disebut ruang pengabdian? Saya rasa berkaitan dengan pengabdian ibu Kartini sebagai seorang istri dan seorang ibu. Di sini RA Kartini melayani suami dan merawat bayinya.
Sedangkan kamar mandi, ada di sebelah kiri pintu keluar ruangan pengabdian. Bak mandi RA Kartini masih utuh. Tapi saya merasakan ada aura makhluk lain di kamar mandi ini.
Ruangan lain yang ada di dalam rumah adalah ruang batik, tempat RA Kartini belajar membatik dan membuat kain batik. Satu hal yang menarik adalah ruang Habis Gelap Terbitlah Terang yang merupakan kronologi ibu Kartini menuliskan dan menuangkan berbagai pikiran dalam buku.Â
Di samping ruang itu, tersambung ke ruang yang menyimpan arsip penting milik RA Kartini. Antara lain Al-Qur'an berbahasa Jawa, buku harian dan buku yang menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang.
Memasuki ruang tengah, ada seperangkat meja dan kursi ukir dalam kondisi baik. Dulunya mereka ruang pertemuan, dan juga ruang keluarga. Di sebelah kiri ada deretan foto berpigura yang menggambarkan keluarga RA Kartini, termasuk putra satu-satunya.
Sedangkan di ruang belakang adalah ruang makan yang bentuknya memanjang. Sebelah kiri kita akan mendapati benda-benda pribadi ibu Kartini seperti mesin jahit dan meja tempat dia menulis.Â
Meja tulis itulah tempat RA Kartini membaca dan menulis catatan di buku harian. Dan meja itu saksi bisu perjuangan Kartini melalui susunan kata-kata yang kelak kita kenal sebagai Habis Gelap Terbitlah Terang.
Dapur, tersambung dengan ruang makan ini, tetapi pintunya telah ditutup secara permanen. Hanya diperlihatkan beberapa perangkat dapur dan juga sebuah sepeda onthel yang dahulu dipergunakan.
Halaman belakang cukup luas. Ada deretan bangunan dimana dahulu merupakan tempat tinggal para abdi dalem. Di halaman ini juga dahulu tempat parkir kereta kuda yang menjadi kendaraan kaum bangsawan.
Kami sempat berfoto di halaman samping yang dekat dengan kamar Pengabdian RA Kartini. Ada taman kecil yang tetap tertata rapi dan juga bangunan rumah untuk abdi dalem perempuan.
Usai mengelilingi museum, kami istirahat di mushola sambil menikmati udara panas yang menyengat. Setelah sholat, sempat juga mencicipi makanan khas bakmi Kopyok yang dijual pedagang tua, yang membawa gerobaknya hingga di halaman mushola.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H