Mas mengajak turun secara diam-diam. Kami berjinjit pelan pelan di atas jalur berpaku supaya tidak terdengar orang di bawah. Namun betapa kagetnya kami ketika mengetahui bahwa tangga yang bersender di pohon telah lenyap.
"Wah, jangan jangan diambil bapak," bisik Mas ketakutan.
Kami tidak punya jalan lain, kecuali turun menggunakan batang pohon belimbing. Dengan bergelayut di batang pohon kami pun turun ke bawah.
Dengan jantung dag dig dug, kami mencuci kaki, masuk diam diam ke kamar dan bersembunyi di kolong tempat tidur. Kami ketiduran di sana sampai malam.
Tapi dasar anak anak, aku gak pernah kapok memanjat pohon. Kebetulan di pinggir jalan banyak pohon trembesi berderet-deret. Cabang cabang pohon ini cukup banyak.
Ada teman yang membuat ayunan di pohon itu. Sedangkan aku tidak suka main ayunan, malah memanjat ke atas, nangkring di atas mereka.
Sayangnya batang pohon trembesi tidak sekuat batang pohon rambutan. Pohon ini getas, mudah patah. Sebagai anak anak, aku belum paham akan hal ini.
Tetiba, dahan yang aku naiki diayun oleh teman di bawah. Perasaanku langsung tidak enak, karena aku mendengar suara berderak. Tetapi sebelum aku sempat berpindah ke batang yang lain, dahan itu patah lebih dahulu.
Tanpa kusadari tubuhku dengan cepat terhempas ke bawah dari ketinggian sekitar tiga meter. Aku baru tersadar ketika tubuhku terasa sakit dan tangan kananku tak bisa digerakkan.
Aku menangis merasakan sakit dan ngilu di pergelangan tangan. Sungguh inilah pertama kalinya aku menangis di depan orang lain. Teman teman yang melihat aku menangis justru ketakutan.
Sebagian teman teman kabur pulang ke rumah. Tapi ada yang memberanikan diri memberitahu bapak. Tentu saja bapak menjadi murka, marah marah kepada teman temanku.