Hari Sabtu yang lalu, saya dan teman-teman kompasianer hadir dalam acara yang digagas Kursor Kompasiana untuk komunitas Acara ini bertajuk Pentingnya Kontrak Untuk Pekerja Freelance.
Sebagai bagian dari komunitas, tentu saja saya harus mengetahui masalah ini. Acara ini sangat bergizi bagi anggota komunitas manapun.
Menurut saya, kita memang harus kepo terhadap masalah hukum. Apalagi yang menyangkut dengan pekerjaan yang kita tekuni.
Profesi sebagai freelancer, bukan berarti tidak berkaitan dengan proses hukum. Justru hal ini bisa memperkuat posisi kita.
Seorang penulis, blogger dan influencer adalah jenis profesi freelancer yang sekarang banyak disandang. Begitu pula dengan saya, yang berkecimpung dalam dunia itu.
Sebenarnya ini adalah acara perdana dari Kursor Kompasiana. Buat yang belum tahu, Kursor Kompasiana membuat program untuk meningkatkan kualitas anggota komunitas.
Menurut salah satu 'dedengkot' Kompasiana, Kevin si Giant, Kursor Kompasiana adalah ruang berkumpulnya para anggota komunitas. Tepatnya berbagi ilmu, berbagi cerita dan ruang untuk meningkatkan kualitas masing-masing anggota komunitas.
Untuk acara perdana, Kursor Kompasiana menyelenggarakan talk show ini di Wuhub Co-working space di gedung Wirausaha, Kuningan. Ke depannya, bisa saja di ruang terbuka, seperti di taman atau juga pantai.
Kali ini, karena membicarakan masalah hukum, Kursor Kompasiana bekerja sama dengan Kontrak Hukum. Kita bisa kepoin masalah hukum di medsos Kontrak Hukum ini.
Nah, mbak Grace adalah ahli hukum yang mumpuni meski masih muda. Sebagai Chief Legal Officer di Kontrak Hukum, dia yang memaparkan seluk beluk pentingnya kontrak kerja bagi freelancer.
Kontrak kerja merupakan kesepakatan hukum antara dua pihak. Ini sebagai jaminan agar tidak ada pihak yang dirugikan.
Dalam kehidupan seorang blogger dan influencer, pekerjaan lebih bersifat freelance. Kami biasanya mendapat tawaran melalui grup komunitas, terutama yang ada di Facebook.
Jika ada brand yang tertarik untuk memberi pekerjaan, mereka akan melanjutkan penawaran melalui email atau WA. Setelah disetujui, kami mengikuti brief yang dikirim, lalu melaksanakan pekerjaan tersebut.
Umumnya pekerjaan itu adalah pekerjaan'putus'. Maksudnya, hanya sekali, langsung dibayar. Tetapi ada pula yang bersifat berkesinambungan, satu bulan terus menerus atau beberapa bulan untuk beberapa posting.
Nah, untuk yang pekerjaan satu kali putus, saya rasa tidak memerlukan kontrak kerja. Ini hanya berdasarkan kepercayaan semata.
Jika ada brand yang mengecewakan, maka saya mencatat dalam hati. Bila ada tawaran lagi dari brand tersebut, saya tidak akan menerimanya.
Namun jika pekerjaan itu berkesinambungan, memerlukan waktu yang cukup lama, itu berarti harus menggunakan kontrak kerja.
Dalam kontrak itu harus dimuat secara detil, apa hak dan kewajiban masing-masing. Begitu pula kalau ada yang melanggar kesepakatan, harus ada sanksinya.
Seumpama salah satu pihak telah melanggar kesepakatan, berdasarkan kontrak kerja yang memiliki kekuatan hukum ini, bisa diajukan tuntutan pengadilan. Biasanya ada dua opsi, diselesaikan secara kekeluargaan atau secara hukum.
Seandainya sulit mencapai perdamaian secara kekeluargaan, tentu saja bisa diselesaikan melalui pengadilan. Proses ini biasanya dihindari karena menguras waktu dan tenaga.
Karena itu, tidak ada salahnya jika kita sebagai freelancer menggunakan kontrak kerja untuk menjamin profesionalisme. Kita dan brand dalam posisi yang sejajar di mata hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H