Masyarakat awam sesungguhnya masih tidak mengerti mengapa KPU tidak mau mengumumkan caleg eks napi koruptor di TPS. Karena itu tak heran jika banyak yang berprasangka buruk kepada KPU.
Memang beberapa waktu yang lalu, KPU telah mengeluarkan daftar caleg mantan napi koruptor tersebut. Tetapi itu hanya dikonsumsi oleh media mainstream.
Masyarakat kita bukan orang yang gemar membaca dan mencari tahu informasi yang diberikan KPU. Apalagi website lembaga itu kadang sulit diakses. Mereka lebih banyak membaca apa yang disebarkan oleh media sosial.
Karena itu, pengumuman KPU tentang daftar caleg eks koruptor, tidak memberikan efek besar. Sebab data itu tidak sampai ke tangan akar rumput.Â
Dengan kampanye yang real melalui panggung dan konser musik atau kampanye berselubung ceramah jauh lebih mendapat perhatian daripada informasi KPU yang sayup sayup terdengar.
Secara logika, membiarkan caleg mantan napi koruptor beraksi sangat berbahaya. Jika ia berhasil meraih kemenangan, yang menanggung akibatnya adalah masyarakat itu sendiri.
Bagaimana jika dia kelak melakukan tindak korupsi lagi? Godaan jabatan dan berbagai proyek akan sulit ditolak. Dia juga butuh mengembalikan modal yang dipakai untuk kampanye.
Karena itu jika kita benar-benar peduli pada nasib dan masa depan rakyat Indonesia, maka kita tak boleh membiarkan hal itu terjadi. Kita tidak bisa mengandalkan lembaga lembaga terkait.
Lembaga lembaga itu terikat pada peraturan. Dan perlu diketahui, undang undang mengenai Pemilu dirancang oleh anggota Dewan yang terhormat.
Selama ini  anggota DPR/DPRD tidak membuat undang-undang yang memihak rakyat. Mereka membuat peraturan yang menguntungkan dan melindungi diri mereka.
Jadi, kita harus mengambil peran aktif untuk mencegah kebobrokan berulang. Kita tidak boleh membiarkan para caleg eks napi koruptor meraih kemenangan.