Sejak dahulu saya senang sekali menikmati perbedaan budaya dari berbagai macam suku dan etnis. Saya mengikuti ajaran Bung Karno yang menekankan bahwa kekayaan budaya adalah anugerah Tuhan untuk Indonesia yang harus dijaga dengan baik.
Pada berbagai macam perayaan, banyak ditampilkan tari tradisional. Saya senang dan bangga, betapa indahnya negeri ini dengan berbagai macam ragam budaya.Â
Ketika masih zaman Orde Baru, memang tidak se-leluasa sekarang. Terutama untuk menyaksikan kemeriahan dari etnis keturunan Cina. Ada larangan bagi mereka untuk merayakan secara besar-besaran.
Tetapi larangan semacam itu justru membuat saya penasaran. Memangnya kenapa kok tidak boleh, apakah karena hanya ada lima agama resmi yang diakui? Bagaimana pun, etnis keturunan telah ada sejak zaman dahulu.
Beberapa tetangga saya merupakan etnis keturunan Cina. Dua di antaranya adalah wartawan. Saya justru pernah belajar dari mereka karena waktu itu saya masih mahasiswa jurusan jurnalistik.
Menjelang Imlek, mereka juga bersiap merayakannya dengan membuat kue keranjang. Biasanya mereka berbagi pada tetangga lain meskipun agamanya Islam.
Almarhumah ibuku, senang menggoreng kue keranjang dengan telur, jadi rasanya gurih manis. Paling enak buat teman minum kopi.Â
Namun bukan hanya makan kue keranjang yang saya sukai. Bersama seorang sahabat kuliah, saya menyusuri kawasan Glodok. Sebab, Glodok dikenal sebagai wilayah Pecinan di Jakarta.
Kami senang sekali melihat pernak pernik yang dijual untuk menyambut Imlek. Bahkan ikut juga membeli lilin merah dan Ohio yang dibakar untuk menghormati leluhur. Harganya murah kok, dan warnanya cantik.
Selain itu saya juga senang membeli gelang giok. Batu giok adalah batu favorit etnis keturunan Cina karena dianggap membawa keberuntungan. Â Tak lupa juga membeli kue bulan dan kue jahe yang enak.
Sayangnya, dahulu belum dapat menyaksikan kemeriahan Barongsai, hanya bisa mengintip perlengkapan mereka di dalam gudang.
Puluhan tahun berlalu, hingga menginjak zaman milenial ini. Tapi kebiasaan saya tidak berubah, saya tetap suka berkunjung ke Vihara menjelang Imlek dan Cap go meh.Â
Tentu saja saya tidak hanya datang ke Glodok, banyak kota kota lain yang juga memiliki Vihara. Misalnya Semarang, Surabaya, Bogor, Tangerang. Bahkan saya pernah mengunjungi vihara di Batam, Tanjung Pinang, lalu ke Pontianak dan Singkawang.
Di organisasi, saya juga memiliki teman teman dari etnis keturunan Cina. Kami bergaul seperti biasa, tanpa sekat. Sebab kita sama sama manusia, ciptaan Tuhan yang Maha Pencipta.
Perayaan Imlek semakin terbuka, dimana mana sekarang ada pertunjukan Barongsai. Gedung dan pusat perbelanjaan juga penuh dengan keceriaan Imlek. Saya turut gembira. Apalagi masyarakat umum bisa menikmatinya.
Vihara yang terakhir saya datangi adalah Vihara tertua di Banten, yang dibangun pada abad 16 oleh Sunan Gunung Jati. Saya mencintai negeri ini dengan semua ragam budaya yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H