Berita musibah banjir pertama yang saya baca adalah banjir di Gowa. Setelah itu menyusul Maros, Majene dan daerah-daerah lain. Hingga akhirnya banjir itu meluas hingga seluruh Sulawesi Selatan. Ibukota Sulawesi Selatan, Makasar tak luput dari musibah ini sebagaimana laporan Bang Dos.
Ini adalah banir terbesar dalam sejarah Sulawesi Selatan, yang telah melumpuhkan satu provinsi. Korban meninggal 9 orang dan ribuan lainnya kehilangan tempat  tinggal. Infrastruktur rusak, dengan beberapa jembatan putus. Banyak desa yang terkucil, sulit dijangkau untuk mendapatkan bantuan.
Secara logika, kita tahu bencana banjir 99% adalah akibat kerusakan lingkungan. Ketidakseimbangan alam telah memicu terjadinya musibah ini. Biasanya adalah ulah manusia dengan segala keserakahannya, karena hewan tidak pernah merusak habitatnya sendiri.
Selama ini kita abai tentang pelestarian alam di daerah-daerah, banyak yang luput dari perhatian dan pengawasan kita. Jual beli tanah, mafia perizinan HPH dan pertambangan telah merangsek jauh tanpa kita sadari. Tahu-tahu kita sudah dilanda banjir.
Jelas rakyat tidak banyak mengetahui hal ini. Soalnya yang bermain adalah oknum pemerintah pusat dan daerah dengan para pengusaha. Mereka yang mengutamakan bisnis untuk  mengisi pundi-pundi kelompoknya, tanpa memikirkan akibatnya bagi orang lain.  Rakyat kena getahnya.
Ada tiga penyebab utama  kerusakan lingkungan yang saya dapat dari teman-teman di sana
1. Proyek pertambangan. Berbagai proyek penambangan telah merusak bukit-bukit yang menjadi penahan air. Perusahaan penambangan menggali bebatuan dan pasir yang menggerus dasar bukit sehingga tidak ada lagi yang dapat menahan air, hujan yang deras langsung menuju tempat rendah.
Perusahaan penambangan seenaknya memilih tempat-tempat yang dieksplorasi tanpa ada batasan dan pengawasan. Padahal kawasan yang ditambang merupakan area yang berdekatan atau berhubungan dengan pemukiman warga. Izin penambangan seharusnya lebih diperketat.
Sebaiknya lokasi penambangan cukup di batasi dalam satu area saja agar perusahaan-perusahaan itu tidak merajalela, menyebar ke berbagai daerah konservasi alam. Perusakan lingkungan menjadi sangat parah dan terjadi dari ujung ke ujung. Tolonglah agar KLH memperhatikan hal ini.
2. Kompleks perumahan baru. Pembangunan kompleks perumahan meningkat dengan pesat. Sebagaimana penambangan, izin untuk mendirikan perumahan juga terlalu longgar. Sehingga developer developer seakan berlomba untuk membangun perumahan paling cepat dan paling besar.
Padahal untuk membangun kompleks perumahan dibutuhkan area yang cukup luas. Dan hal itu hanya bisa didapat dengan membuka lahan. Baik itu lahan hutan, perkebunan atau pertanian, yang seharusnya menjadi kantong-kantong penyimpanan air saat musim hujan.