Hingga pada suatu hari, ia berbicara serius ketika kami selesai makan malam di sebuah restoran di Jakarta.
"Ran, ibuku ingin berkenalan denganmu."
Jantung ku berdebar keras, harap harap cemas. Betulkah ini pertanda kami akan melangkah ke jenjang yang lebih jauh?
"Kapan? Aku juga ingin berkenalan dengan ibumu," aku menahan diri untuk tidak bersorak.
"Bagaimana kalau Minggu depan? Aku jemput kamu di stasiun seperti biasa. Lalu kita langsung ke rumah."Â
Aku cepat mengangguk. Kebetulan aku tidak punya rencana lain Minggu depan.
Rasanya tak sabar menanti hari itu tiba. Bahkan membuat aku tidak fokus dalam pekerjaan. Sehingga teman teman menegur.Â
Aku setengah berjingkrak ketika akhirnya hari Sabtu tiba. Seperti orang senewen, merencanakan pakaian yang akan dikenakan. Aku harus bisa memberi kesan yang baik pada ibunya.
Semalaman aku tidak bisa tidur. Meski Bagas menggoda melalui video call.
"Ah, andai kamu di sini. Kita bisa menikmati malam Minggu di pantai," katanya.
Aku tertidur karena kelelahan. Tetiba dibangunkan oleh teriakan istighfar ibuku.