Ada satu jembatan terpanjang di Sukabumi yang menjadi incaran kaum milenial untuk selfie, yaitu Situ Gunung. Jembatan fenomenal itu menjadi destinasi wisata populer di musim liburan ini.
Karena itu, kalau merencanakan ke jembatan Situ Gunung harus jauh jauh hari. Terutama mengenai transportasi menuju Sukabumi.
Ada dua alternatif kendaraan yang bisa digunakan. Pertama adalah dengan menggunakan kereta api. Tiket kereta harus dipesan minimal seminggu sebelumnya, kalau tidak ingin kehabisan.
Kedua dengan menggunakan bis yang trayeknya ke Sukabumi, bisa dari Bogor atau Kampung Rambutan. Tapi resikonya adalah menghadapi kemacetan yang panjang, memakan waktu yang lama.
Saya ke sana dengan menggunakan kereta api. Tiket bisa dipesan melalui aplikasi travel, atau juga mini mart. Harga tiket ekonomi sekitar 35 ribu, sedangkan tiket eksekutif 80 ribu.
Saya berangkat pagi-pagi dari rumah, sebab kereta Pangrango yang ke Sukabumi, tiba pukul 07.50 dari Bogor Paledang. Stasiun ini hanya 300 meter dari stasiun Bogor untuk KRL.
Perjalanan dengan kereta hanya dua jam saja, saya turun di stasiun Cisaat. Dari stasiun saya jalan kaki ke Polsek Cisaat, lalu naik angkot merah ke Situ Gunung dengan membayar 7 ribu (bisa lebih mahal jika sopir angkot 'menggetok' wisatawan.
Sebelum sampai, terpaksa turun karena sudah macet dengan kendaraan yang keluar masuk area Situ Gunung. Musim liburan membuat pengunjung datang membludak.
Ada welcome drink berupa teh atau kopi dengan rebusan singkong dan pisang. Lumayan untuk menambah tenaga sebelum ke jembatan. Lokasinya tak begitu jauh dari gerbang. Satu area dengan tempat kemping dan restoran.Â
Di sini merupakan spot yang menarik untuk foto foto. Bangku bangku panjang dari kayu tampak cantik. Selain itu juga jembatan di antara dua pohon tinggi.
Bagaimana sensasinya? Begitu kita melangkah, jembatan bergoyang ke kanan dan kiri. Dan goyangan itu semakin kencang jika semakin banyak yang melewati.Â
Sebenarnya kita tidak boleh terlalu lama di jembatan karena kasihan orang yang dalam antrian panjang. Tetapi para wisatawan tak mau membuang kesempatan untuk selfie sebanyak banyaknya. Bahkan ada yang membuat Vlog.
Pengunjung dilarang keras menggoyang jembatan dengan sengaja. Apalagi jika sampai melompat atau berjingkrak. Lha wong tanpa digoyang saja, jembatan sudah berguncang. Kalau ditambah goyangan mungkin bisa putus.
Curug Sawer
Setelah melewati jembatan, ada jalan terjal menurun. Jalan itu berupa tangga batu yang cukup curam, agak melingkar menuju air terjun atau Curug dalam bahasa Sunda.
Selagi mengikuti jalan tersebut, retina hujan turun dengan lebatnya. Padahal tidak ada tempat berteduh kecuali rimbunnya dedaunan.
Kebetulan saya sudah siap menghadapi cuaca ini. Saya pun mengeluarkan jaket dan topi. Tas ransel segera diselubungi selimut plastiknya.
Saya melanjutkan perjalanan ke bawah dengan hati hati, takut terpeleset karena licin. Sampai di bawah, masih gerimis. Banyak wisatawan yang sedang berteduh, di warung kopi yang ada di sekitar air terjun.
Tanpa membuang waktu, saya mendekati air terjun dan mengambil beberapa foto di sana. Saya harus bersaing dengan anak anak muda yang enggan beranjak dari tempat yang strategis dan spot yang menarik di depan air terjun.
Ketika hujan reda, saya sholat di mushola yang disediakan di sana. Sayangnya air untuk bersuci sering mati. Aneh juga, padahal dekat dengan sumber air.
Kembali ke atas membutuhkan perjuangan karena memanjat lebih berat daripada menurun. Jalan terasa lebih licin dan terjal. Saya kasihan pada orang tua dan orang yang bertubuh gemuk, kehabisan nafas untuk memanjat.
Menuju jembatan, kembali mengantri sementara kaki sudah terasa sangat pegal. Beberapa orang yang tak tahan, terpaksa duduk di tanah atau sebatang kayu.
Ketika giliran saya mau melewati jembatan, kabut tebal mulai turun. Lembah di sekitar jembatan nyaris tak terlihat karena tertutup kabut. Udara dingin mulai menyerang.
Saya buru buru melewati jembatan, meski sesekali juga berfoto mengabadikan kabut itu. Herannya, antrian yang baru datang masih juga panjang. Padahal jam sudah menunjukkan pukul tiga.
Saya tidak jadi ke danau karena berpikir percuma saja dengan kabut tebal yang turun. Tidak ada pemandangan yang akan terlihat, bahkan agak berbahaya karena penglihatan tertutup kabut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H