Tanpa membuang waktu, saya mendekati air terjun dan mengambil beberapa foto di sana. Saya harus bersaing dengan anak anak muda yang enggan beranjak dari tempat yang strategis dan spot yang menarik di depan air terjun.
Ketika hujan reda, saya sholat di mushola yang disediakan di sana. Sayangnya air untuk bersuci sering mati. Aneh juga, padahal dekat dengan sumber air.
Kembali ke atas membutuhkan perjuangan karena memanjat lebih berat daripada menurun. Jalan terasa lebih licin dan terjal. Saya kasihan pada orang tua dan orang yang bertubuh gemuk, kehabisan nafas untuk memanjat.
Menuju jembatan, kembali mengantri sementara kaki sudah terasa sangat pegal. Beberapa orang yang tak tahan, terpaksa duduk di tanah atau sebatang kayu.
Ketika giliran saya mau melewati jembatan, kabut tebal mulai turun. Lembah di sekitar jembatan nyaris tak terlihat karena tertutup kabut. Udara dingin mulai menyerang.
Saya buru buru melewati jembatan, meski sesekali juga berfoto mengabadikan kabut itu. Herannya, antrian yang baru datang masih juga panjang. Padahal jam sudah menunjukkan pukul tiga.
Saya tidak jadi ke danau karena berpikir percuma saja dengan kabut tebal yang turun. Tidak ada pemandangan yang akan terlihat, bahkan agak berbahaya karena penglihatan tertutup kabut.