Negeri ini memang amburadul dalam menerapkan peraturan. Hukum saling bertentangan, saling bertabrakan. Inilah akibat hukum yang bisa diperjualbelikan.
Polemik tentang eks koruptor yang boleh menjadi calon legislatif membuat saya geleng-geleng kepala. Secara logika sudah tidak masuk akal, bagaimana mungkin orang yang sudah menghisap duit rakyat boleh menjadi 'anggota yang mulia'?
Hal ini juga telah melanggar tatanan moral yang ada dalam masyarakat. Seorang mantan pesakitan bakal mulia kembali karena diberi jalan untuk ke arah sana. Ataukah memang sudah tidak ada lagi ukuran moral bagi para petinggi negeri.
Sebagai rakyat kecil, saya teringat bahwa untuk mendapatkan pekerjaan saja, kami harus menyertakan salah satu persyaratan. Antara lain adalah SKCK atau yang dahulu dikenal sebagai surat keterangan kelakuan baik.
Jika tidak membawa SKCK, bisa dipastikan bahwa lamaran kerja akan ditolak. Minimal berkas lamaran dikembalikan dan dilengkapi. Tidak ada satu instansi pun yang mau menerima mantan napi karena kuatir akan terjadi aksi kriminalitas.
Nah seingat saya, para calon anggota legislatif juga harus menyertakan SKCK sebelum memberikan berkas ke partai tempat bernaung. Lalu bagaimana dengan eks koruptor yang sudah mendekam di penjara dan menjalani mantan napi?
Majunya eks koruptor sebagai calon legislatif menyiratkan betapa bobroknya partai tersebut. Mereka tidak peduli dengan tatanan moral, hanya memikirkan kepentingan diri sendiri.
Mungkin penyebabnya adalah banyaknya setoran yang berasal dari calon legislatif eks koruptor. Perlu diingat, siapa saja yang menjadi pejabat eksekutif, legislatif dan yudikatif dari partai wajib menyumbang sekian persen dari penghasilan dia untuk partai.
Selain itu, nomor urut dalam pencalegan merupakan ajang bisnis jual beli partai. Siapa yang ingin nomor urut satu, tentu harga yang harus dibayar sangat tinggi. Hal inilah yang membuat praktik korupsi menjadi abadi.
Caleg yang mengeluarkan uang banyak dalam proses tersebut bakal mencari ganti pengeluarannya ketika terpilih sebagai pejabat. Satu satunya jalan adalah dengan korupsi.Â
Karena itu boleh dikatakan bahwa partai adalah sumber munculnya koruptor. Mereka membuat proses pencalegan menjadi high cost.
Bagaimana dengan SKCK? Ah, apa pun bisa didapatkan asal berani mengeluarkan uang. Dalam hal ini , sangat memprihatikan bahwa lembaga hukum yang mengeluarkan SKCK tidak terlalu peduli apakah orang yang mengajukan permohonan SKCK benar benar orang baik.
Hanya saja kasihan lah rakyat kecil yang harus tunggang langgang mengurus SKCK untuk melamar pekerjaan atau melanjutkan studi. Mereka orang orang baik yang dipersulit birokrasi. Sedangkan orang orang jahat justru melenggang dengan melambaikan SKCK.
Mungkin harus ada lembaga lain yang berwenang mengeluarkan SKCK. Lembaga yang sekelas dengan KPK agar tidak ada orang yang sembarangan membuat SKCK untuk memuluskan rencana para koruptor.
Siapa sih yang bisa menjamin eks koruptor tidak akan melakukan tindakan korupsi? Sangat sulit mengubah tabiat buruk, jarang ada orang yang benar-benar bertobat. Â Apalagi dengan sistem politik yang high cost ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H