Generasi muda sekarang tidak mengenal sejarah kemerdekaan. Banyak yang tidak tahu kisah penculikan Bung Karno dan Bung Hatta sebelum proklamasi kemerdekaan. Untuk itulah Museum Naskah Proklamasi bekerja sama dengan Komunitas Jelajah Budaya mengadakan napak tilas sejarah ke Rengasdengklok.
Penculikan di sini bukan penculikan dalam arti kriminal, melainkan pengamanan tokoh nasional. Dalam hal ini sekelompok pemuda yang ingin mendesak Bung Karno dan Bung Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Peristiwa penculikan itu berawal dari perbedaan pendapat antara golongan muda dan golongan tua mengenai kapan waktu yang baik untuk memproklamasikan kemerdekaan. Golongan muda antara lain Sukarni, Wikana, Chaerul Saleh, Sidik Kertapati, Darwis dan Suroto Kunto dll. Mereka juga dikenal sebagai kelompok Menteng 31.
Golongan tua seperti Bung Karno dan Bung Hatta dianggap terlalu kompromis kepada penjajah dan hanya menunggu kemerdekaan diberikan oleh Jepang. Para pemuda revolusioner tersebut lalu nekad menculik Bung Karno dan dibawa ke Rengasdengklok.
Chaerul Saleh membangunkan Bung Karno yang sedang tidur di kediamannya Jl. Pegangsaan Timur no.56. Saat itu pukul 04,00, Chaerul Saleh mengatakan bahwa keadaan sudah genting, keamanan di Jakarta tidak bisa ditanggung lagi oleh para pemuda.
Bung Karno tidak sempat mengecek kebenarannya, ia langsung dibawa ke Rengasdengklok, begitu pula dengan Bung Hatta. Desa Bojong yang berada di daerah Karawang ini menjadi pilihan karena sudah menjadi pusat gerakan anti fasis. Di sana kedatangan Bung Karno disambut oleh para pemuda PETA.
Kami turun dari bus dan berjalan kaki menuju rumah bersejarah tempat penyimpanan Bung Karno dan Bung Hatta. Cuaca sangat terik, tapi kami dipenuhi semangat 45. Suasana kampung Bojong tampak ceria dengan pernak pernik merah putih. Di samping gang telah digambar dengan wajah para tokoh pemuda.Â
Semula Bung Karno akan ditempatkan di markas PETA, tetapi rencana itu berubah. Ketika mampir di rumah Djiauw Kie Siong yang tersembunyi dengan rimbunnya pepohononan di tepi sungai Citarum, rumah itu dianggap lebih cocok untuk "menyimpan" Bung Karno.
Rumah Djiauw terbuat dari kayu yang cukup kokoh. Kami bisa melihat bahwa rumah ini masih utuh walau telah dipindahkan dari tempat aslinya di tepi sungai Citarum. Aura Bung Karno masih sangat terasa di rumah itu.