Sungai Citarum memang menjadi saksi bisu dari rumah Djiauw Kie Siong tersebut. Namun Sungai Citarum termasuk sungai yang paling besar di Jawa Barat, jika musim penghujan tiba, maka air sungai meluap dan membanjiri area sekitarnya.
Jika rumah Djiauw Kie Siong dibiarkan tetap di tepi sungai Citarum, bisa dipastikan rumah itu akan lenyap. Rumah itu di satu saat hancur oleh banjir atau dimakan rayap. Lebih tepat lagi, bisa hanyut terbawa arus sungai yang menggerus tepian dari tahun ke tahun. Padahal rumah ini adalah tempat bersejarah yang harus dilestarikan.
Karena itulah rumah tersebut kemudian diangkat ke atas, dipindahkan sekitar 150 meter dari tempat semula. Tidak begitu sulit memindahkan rumah yang terbuat dari kayu, cukup ringan ketika digotong bersama-sama pada tahun 1957. Di lokasi pemindahannya inilah kami berkunjung sekarang.
Foto Bung Karno dan Bung Hatta jelas mendominasi rumah itu, sehingga aura kedua tokoh itu masih bisa dirasakan. Meski rumah itu menjadi sesak oleh kunjungan para peserta napak tilas, kami masih bisa menghayati suasana zaman dahulu.
Sayangnya di rumah ini tidak terdapat penjelasan apapun mengenai sejarah yang terkait di dalamnya, baik itu berupa pamlet atau papan informasi. Kami hanya mendengar penjelasan dari Pak Rushdy yang kembali mengisahkan peristiwa persiapan kemerdekaan.
Pada saat ini musim kemarau dengan sinar matahari yang sangat menyengat. Sungai Citarum dalam keadaan surut meski masih mengalirkan air. Jarak antara tebing dengan air sungai cukup tinggi, ada sekitar 10 meter atau lebih. Tetapi kalau musim hujan, air bisa naik sampai ke permukaan.
Dari kejauhan kami melihat perahu penyeberangan lalu lalang mengantar penduduk. Yup, sungai ini juga merupakan batas antara kabupaten Bekasi dan Kabupaten Karawang. Jika ingin melintas dengan cepat, gunakan saja perahu.