Kolam pemandian bernama Bale Kambang Rara Denok ini bentuknya segi empat, dengan panjang  sekitar 30 meter dan lebar 13 meter. Di tengah ada bangunan batu juga, dengan ruang sempit seperti tempat bertapa. Kolam ini merupakan pemandian Ratu dan putri-putri keraton.
Saya menghayati kehadiran sang Ratu dengan menuruni tangga kolam dan melihat dari dekat air kolam yang berwarna kehijauan. Kolam yang indah, seandainya saya berada di masa lampau, saya juga akan senang mandi di sana.
Menurut Bapak penjaga yang sekaligus pembersih rerumputan kawasan ini, sebetulnya banyak perempuan yang sengaja datang untuk mandi berendam atau 'kumkum' di kolam ini. Mungkin mereka mengharap berkah kecantikan dari para putri keraton zaman dahulu.
Perempuan-perempuan tersebut berendam dengan menggunakan secarik kain panjang. Setelah selesai mandi, mereka meninggalkan kain itu begitu saja. Si Bapak penyabit rumput lah yang terpaksa mengumpulkan kain-kain tersebut dari area kolam. Saya melihat seonggok kain masih ada di dekat rerumputan sudut kolam.
Sepasang tapak kaki itu ada di atas mimbar setinggi satu meter. Saya pun penasaran dan naik ke atas mimbar yang tinggal sepotong itu. Saya mencoba menginjak tapak kaki itu. Lho kok ukurannya sama dengan kaki saya.
Si bapak penjaga menceritakan bahwa kolam pancuran mas ini juga menjadi tempat membasuh diri. Airnya tidak pernah kering karena berasal dari danau yang tak jauh dari kawasan keraton. Tadi saya juga melewatinya dan melihat dari atas mobil.
Secara keseluruhan saya bisa membayangkan kemegahan keraton dan benteng di masa kejayaan Sultan Hasanudin ini. Berdasarkan literasi yang pernah saya baca, benteng keraton didirkan oleh arsitek Belanda Hendrik Lukasz.Â
Atas jasanya, arsitek Belanda yang kemudian menjadi mualaf ini diberi anugerah nama dan gelar kebangsawanan sebagai Pangeran Wiraguna. Sayang keraton ini dihancurkan Belanda di masa Gubernur Jenderal Daendels.
Nyanyian padang ilalang kembali menghampiri saya. Sinar matahari yang garang seakan hendak menelan siapa saja yang berada di sana. Sebelum meninggalkan tempat bersejarah itu, saya menatap keindahan dalam senyap yang menceritakan peradaban masa lalu.