Pembantaian penduduk masih berlangsung di Ghouta, Suriah. Kota kecil yang jaraknya hanya beberapa mil dari Damaskus ini menjadi kota yang sangat mencekam dan menakutkan. Rezim Assad membombardir semua bangunan tanpa pandang bulu. Diperkirakan sudah lebih dari 250 orang korban tewas yang merupakan penduduk sipil dalam tiga hari terakhir.
Sejak Selasa lalu, pasukan rezim Assad menyerang Ghouta dengan menggunakan bom laras, tembakan artileri dan senjata-senjata lainnya. Saat ini Ghouta Timur menjadi wilayah 'yang siap mati'. Dengan penduduk sebanyak 400.000 orang, Ghouta Timur telah terkepung tanpa ada jalan keluar bagi para penduduknya untuk mengungsi. Mereka terpaksa pasrah dan menunggu maut menjemput.
Hal ini mengundang keprihatinan dari seluruh dunia, terutama dari negara-negara muslim. Anak-anak yang tak berdosa menjadi korban pembantaian. Jika tidak dihentikan, maka ini berarti pembunuhan masal terhadap penduduk di satu wilayah. Ironinya, usaha ke arah itu seperti mengalami jalan buntu. Rusia mengatakan bahwa belum ada gencatan senjata meski negosiasi telah berjalan selama dua minggu.
Padahal, apa yang dilakukan pemerintah rezim Assad telah melanggar perjanjian yang dilakukan Mei tahun lalu antara Rusia, Turki, dan Iran. Ketiga negara sepakat menetapkan Ghouta Timur sebagai wilayah de-eskalasi, di mana tindakan agresi secara tegas dilarang. Assad telah beberapa kali melanggar kesepakatan tersebut.
Masalah Ghouta Timur khususnya, seperti juga masalah Suriah pada umumnya merupakan lingkaran setan. Suriah adalah negara yang penuh konflik interest, antara pemerintah dengan oposisi, kemudian negara-negara adidaya yang saling berebut pengaruh. Sejak awal, rezim Assad didukung oleh Rusia. Senjata-senjata buatan Rusia yang dipergunakan oleh pemerintah Assad dalam perang saudara di Suriah.
Rusia menjadi pemain penting dalam konflik Suriah. Dukungan pasukan dan persenjataan berdalih memberantas pemberontak dan membasmi ISIS. Padahal kepentingannya adalah menjual senjata dan menguasai ladang minyak, mirip dengan kepentingan Amerika Serikat. Sebaliknya, Amerika Serikat memberikan dukungan kepada oposisi dan ISIS.
Permasalahannya, Rusia selalu menggunakan hak veto untuk dalam sidang-sidang Dewan Keamanan PBB yang membahas konflik Suriah. Tentu saja, negara adidaya ini tak ingin sumber pendapatannya dari penjualan senjata berkurang jika konflik Suriah dihentikan. Begitu pula perundingan selama dua minggu dengan rezim Assad hanya sebuah sandiwara.
Pembicaraan krisis Suriah tampaknya menemui jalan buntu. Meski demikian, demonstrasi di depan markas PBB tetap berlangsung untuk mendorong PBB melakukan langkah konkret dalam menyelamatkan penduduk Ghouta Timur. Untuk sementara usaha PBB masih sebatas mengirimkan bantuan makanan dan obat-obatan.
Konflik di negara-negara Teluk Persia tidak akan pernah berhenti selama masih dijadikan permainan negara-negara adidaya. Jika tidak ada peperangan yang dilanggengkan, maka senjata-senjata yang mereka produksi tidak laku terjual. Padahal perdagangan senjata menjadi salah satu pemasukan kas negara yang sangat berarti.
Selain itu, penguasaan sumber-sumber minyak yang berada di kawasan Timur Tengah. Dengan menghidupkan konflik terus menerus, maka perdagangan minyak dunia tidak dapat didominasi oleh kawasan Timur Tengah. Pada saat ini Amerika Serikat menangguk keuntungan tertinggi dari sektor minyak. Donald Trump patut bertepuk dada karenanya.
Apa yang bisa kita lakukan? Selama hak veto masih digunakan oleh mereka, maka kita hanya bisa gigit jari. Mengubah PBB hanya menjadi wacana yang tak pernah bisa terlaksana.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H