Dua hari yang lalu, Presiden Prancis, Emmanuel Macron mempertanyakan motif Turki melakukan operasi militer "Olive Branch" di Afrin. Macron melontarkan hal itu dalam sesi wawancara di Le Figaro, Rabu, 31 Januari 2018. Pernyataan Presiden Prancis tersebut segera mengundang reaksi dari pemerintah Turki.
Dalam konperensi pers kemarin, Perdana Menteri Turki, Binali Yildirim langsung menanggapi ucapan Macron. Yildirim mengatakan bahwa dunia telah mengetahui kalau Turki bukan penjajah. Operasi militer Olive Branch adalah operasi kontraterorisme untuk mengamankan Turki dari ancaman teroris berbahaya.
Sebagai contoh, ketika Turki melakukan  operasi militer Efrat Shield di Suriah yang berlangsung selama tujuh bulan. Setelah Efrat Shield selesai pada bulan Maret, pasukan Turki kembali ke negerinya. Karena itu sungguh aneh jika Macron memperingatkan Turki agar operasi militer itu tidak menjadi invasi Turki ke Suriah.Â
Apa yang dikatakan Emmanuel Macron seakan-akan menuduh Turki melakukan invasi terhadap wilayah Suriah. Bahkan Macron 'agak' mengancam Turki dengan perkataanya,"Jika operasi Turki menjadi invasi, akan menjadi 'masalah nyata' bagi Prancis".
Padahal telah dijelaskan bahwa Turki melancarkan operasi militer Olive Branch bertujuan melindungi Turki dari rongrongan teroris YPG/PYD, PKK yang memang berbasis di Afrin dan sekitarnya. Hal ini juga memberikan dampak positif terhadap keamanan pasukan koalisi yang berada di Suriah. Apalagi operasi Efrat Shield yang melibatkan pasukan koalisi meliputi Manbij (dekat Afrin), Jarabulus dan Azez.
Lantas mengapa Prancis 'kepo' dengan operasi militer Olive Branch yang sudah dua minggu dilakukan Turki? Ada beberapa alasan yang mendasari sikap Prancis.
Pertama, Prancis adalah anggota NATO dan turut dalam pasukan koalisi yang berada di Suriah. Sebagaimana anggota-anggota lainnya, berkepentingan menjaga prioritas urusan NATO dan pasukan koalisi. Namun hal ini agak absurd, mengingat bahwa sebenarnya anggota-anggota lain tidak mempermasalahkan tindakan Turki di Afrin.
Kedua, Prancis adalah salah satu sekutu Amerika Serikat dalam berbagai kepentingan di seluruh dunia. Ada kemungkinan bahwa Donald Trump telah meminta Emmanuel Macron untuk turut campur mengecam Turki, mengingat Amerika Serikat tidak menyukai kebijakan Turki memerangi teroris YPG dan PKK yang telah dipersenjatai oleh negeri paman Sam tersebut.
Ketiga, Prancis telah lama terlibat dalam peperangan di Suriah. Di belakang alasan bahwa Prancis merupakan bagian dari pasukan koalisi, maka sejatinya negara-negara maju memiliki kepentingan menjual senjata pada negara-negara konflik. Prancis adalah salah satu negara yang memproduksi senjata-senjata canggih yang dibutuhkan oleh mereka.
Keempat, Prancis tidak menyukai arus pengungsi yang datang dari negara-negara konflik seperti Suriah. Â Eropa Barat menjadi tempat pelarian para pengungsi. Banjirnya pengungsi dari Suriah menimbulkan masalah tersendiri bagi Prancis. Kasus-kasus bentrokan antara penduduk Prancis dengan imigran muslim semakin meningkat.
Kelima, Prancis kuatir bahwa para teroris yang diberantas Turki, akan menyelamatkan diri ke negara tersebut. Jika ada teroris yang lolos dan kabur ke Prancis, maka mereka akan menjadi ancaman teror yang cukup meresahkan warga Prancis.Â
Meski begitu, tidak selayaknya Prancis ikut campur dalam masalah Turki yang mengamankan teritorialnya. Apalagi selama ini hubungan antara Turki dan Prancis tidak ada masalah. Â Kedua negara menjalin hubungan bilateral yang wajar dan normal, tidak dekat (akrab) dan juga tidak jauh. JIka Turki dianggap sebagai ancaman bagi kepentingan Prancis di Suriah, maka cepat atau lambat akan merusak hubungan kedua negara.