Mohon tunggu...
Muthiah Alhasany
Muthiah Alhasany Mohon Tunggu... Penulis - Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah. Moto: Langit adalah atapku, bumi adalah pijakanku. hidup adalah sajadah panjang hingga aku mati. Email: ratu_kalingga@yahoo.co.id IG dan Twitter: @muthiahalhasany fanpage: Muthiah Alhasany"s Journal

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Mengenal Lima Hal yang Dapat Menyebabkan Punahnya Owa Jawa Bersama Pertamina

21 November 2017   10:18 Diperbarui: 22 November 2017   15:51 1083
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia kaya akan beragam flora dan fauna sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Sayangnya kekayaan ini tidak terjaga dengan baik. Keserakahan manusia menjadi penyebab  utama rusaknya keanekaragaman hayati tersebut. Kekayaan  flora dan fauna semakin menyusut karena banyak yang sudah punah dan sebagian dalam kategori langka. Jika kita hanya berdiam diri, species yang tertinggal pun akan terancam punah.

Begitu pula dengan Owa Jawa, hewan asli Indonesia yang hanya ada di pulau Jawa. Owa Jawa atau dalam bahasa latinnya adalah Hylobates Moloch ini merupakan sejenis kera tanpa ekor yang habitatnya ada di Jawa Barat dan Jawa Tengah.  Antara lain di dataran Dieng. Ujung Kulon, Gunung Halimun, Gunung Salak, Gunung Puntang, Gunung Gede dan Pangrango. Saat ini jumlah populasinya hanya sekitar 4000 ekor. Mereka berada di hutan-hutan lindung atau Taman Nasional yang dilindungi pemerintah. 

Dengan keprihatinan terhadap nasib Owa Jawa itulah CSR Pertamina mengundang Kompasiana untuk mengunjungi Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGPP) Bodogol,  Sukabumi, Jawa Barat sebagai salah satu tempat konservasi untuk Owa Jawa. Sebanyak 20 kompasianers dilibatkan untuk melihat langsung aksi penyelamatan Owa jawa di Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol (PPKAB)

Kami berkumpul di depan Bentara Budaya Jakarta sejak pukul 06.00 WIB. Rombongan menggunakan bus, yang meluncur tanpa kemacetan melewati Jagorawi. MC kocak Yosh Aditiya menghibur selama perjalanan dengan memberi kuis berhadiah.  Kami tiba di area Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol (PPKAB) menjelang siang. Di sana sudah menanti beberapa kendaraan off road yang gahar. Wah, saya yang sudah lama tidak menaiki kendaraan tersebut menjadi exciting melihatnya.

Memanfaatkan Land Rover dan ssejenisnya sebagai kendaraan off road memang tepat, karena dikenal taft dan bandel di jalan berlumpur sekali pun. Saya memilih salah satu yang menggunakan lambang palang merah dan duduk paling depan dengan pe-de.  Maklum, seorang tomboy seperti saya sangat menyukai tantangan, dan ini adalah salah satu hal yang paling saya sukai. Masing-masing mobil berisi 5 s/d 7 orang

ready for off road (dok.ASita DK)
ready for off road (dok.ASita DK)
Dua  kendaraan telah melaju di depan mobil yang saya naiki. Mobil berwarna merah, berisi lima orang yang terpilih mengunjungi kandang karantina Owa Jawa. Sebab kalau semua masuk, nanti binatang itu kaget dan stress. Lima orang itu terpilih setelah memenangkan kuis yang digelar Yosh Aditya, ditambah dengan Asita DK. Kendaraan beriringan  seperti konvoi menyusuri jalan melewati kebun-kebun sayur milik petani setempat. 

Beberapa ratus meter kemudian, kami mulai memasuki jalan berlumpur yang sangat licin. Baru sebentar saja, sudah ada ban yang selip dan mobil pun oleng ke kanan dan ke kiri, tetapi dengan kepiawaian driver-nya, kami tetap melaju menyusuri jalur off road tersebut. Namun perjalanan semakin menegangkan karena jalur tersebut ternyata melewati sisi jurang. Beberapa kali jeep harus mingslep ke dalam lumpur dan terbanting ke tepi jurang. Bagi saya, perjalanan ini sangat memacu adrenalin.

off road berlumpur (dok.pri)
off road berlumpur (dok.pri)
Tentu saja kompasianers yang tidak biasa dengan petualangan off road tersebut menjadi panik dan pucat. Di mobil saya, ada  yang sampai ngompol  lho. Mbak Yayat yang berada di samping saya pun sangat tegang.  Begitu pula dengan Mas Rahab, yang berusaha tenang dengan fokus membuat foto dan video. Saya melihat 'penghuni' mobil di depan sudah kehilangan candanya. 

cemilan singkong dan pisang rebus (dok.pri)
cemilan singkong dan pisang rebus (dok.pri)
Akhirnya kami semakin dekat dengan gerbang Taman Nasional Bedogol. Mobil merah belok ke kanan ke arah kandang karantina. Sedangkan mobil-mobil lain terus masuk ke kawasan hutan konservasi. Kami turun disambut udara segar yang memenuhi paru-paru setelah tadi banyak menahan nafas dalam perjalanan off road. Di tempat peristirahatan telah disediakan minuman hangat dan cemilan berupa singkong goreng  dan pisang rebus.

Sambil beristirahat, kami mendengarkan penjelasan Ibu Badiah, Kepala Bidang Wilayah III dari KLH, yang membawahi Taman Nasional Bodogol ini.  Ibu Badiah menjelaskan, populasi Owa Jawa semakin mencemaskan, karena itu pemerintah dan pihak-pihak terkait  berupaya melestarikan binatang langka itu dengan menyediakan habitat Owa Jawa di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango. Pertamina, sebagai BUMN yang peduli dengan kelestarian alam, menyumbang sekitar 500 juta Rupiah pertahun, khusus untuk Owa Jawa.

Ibu Badiah (dok.pri)
Ibu Badiah (dok.pri)
Taman Nasional Bodogol ini ada sejak tahun 1997.  Ada 13 keluarga Owa Jawa yang bermukim di tempat ini. Satu keluarga rata-rata terdiri dari  empat individu dan menguasai 10 s/d 17 ha area. Setiap pagi Owa Jawa ini mengeluarkan bebunyian seperti menyanyi bersahut-sahutan sebagai tanda memulai aktivitas. 

"Kami menyebutnya sebagai Morning Call," kata Bu Badiah.

Owa Jawa yang sudah tinggal di hutan, berbeda dengan yang di kandang observasi. Mereka yang di kandang, harus menjalani serangkaian latihan sebelum dilepas-liarkan. Sebab, Owa Jawa yang di kandang biasanya hasil sitaan dari penduduk atau penyelundup. Mereka diperlakukan dan diberi makan seenaknya, sehingga Owa Jawa tersebut kehilangan naluri aslinya.

Sebagai contoh, bayi Owa yang diculik dari ibunya. Maka sejak kecil dia terpisah dari induk dan keluarganya. Ia hanya mengenal apa yang diberikan manusia yang memeliharanya. Butuh waktu yang lama untuk membuat anak Owa tersebut  mengenal habitat dan kebiasaan binatang sejenisnya. Setelah beberapa bulan di latih, barulah dia bisa dilepas ke hutan.

Berdasarkan penuturan Bu Badiah, maka saya bisa mengambil kesimpulan. Sesungguhnya ada lima hal yang menjadi penyebab utama punahnya Owa Jawa. LIma hal inilah yang harus kita cegah dan hindari agar keberlangsungan hidup Owa Jawa dapat terus dijaga.

     Hal pertama yaitu Owa Jawa adalah binatang yang sangat sensitif. Tidak hanya sensitif dengan keberadaan manusia, tetapi juga terhadap perubahan dan lingkungan sekitarnya. Owa Jawa juga rentan terhadap penyakit, terutama yang dibawa oleh manusia. Karena itu, jika kita mengunjungi karantina dan kandang observasi, maka alas kaki kita harus dibersihkan dengan disinfektan, serta menggunakan masker.

   Hal kedua,  Owa Jawa adalah hewan yang mudah menjadi stress atau depresi. Kalau manusia memperlakukan dia dengan tidak semestinya, maka binatang ini menjadi stress dan bisa menyebabkan kematian. Misalnya, induk Owa yang kehilangan bayinya (karena diambil manusia) akan mengalami stress, tidak mau makan minum hingga mati. Kalau induk mati, maka pasangannya (pejantan) akan stress dan juga mati. Dengan kata lain, menculik satu Owa Jawa, berarti membunuh satu keluarga sekaligus.

Hal ketiga,     para pemburu liar masih suka menyusup ke dalam hutan lindung untuk menangkap Owa Jawa. Hewan langka adalah komoditas yang menguntungkan, mempunyai nilai jual tinggi. Terutama kepada para kolektor hewan langka, yang biasanya adalah orang kaya dan konglomerat. Para pemburu ini tidak pernah memikirkan nasib keluarga Owa Jawa selanjutnya. 

Hal keempat,     pertumbuhan jumlah penduduk yang pesat, mengamcam habitat Owa Jawa.  Pertama, manusia membabat hutan untuk diambil kayunya dan dijual. Kedua,  lahan hutan yang dibuka menjadi pemukiman penduduk. Dengan sendirinya, area hutan menyusut dan akhirnya  membuat habitat Owa Jawa juga semakin berkurang. 

Hal kelima,    Owa Jawa memiliki sifat monogami, atau setia pada satu pasangan seumur hidupnya. Hal ini menyebabkan perkembangbiakan Owa Jawa tidak secepat primata lain yang poligami, satu jantan dengan beberapa induk.  Jika sang betina mati, pejantan tidak akan mencari gantinya dan akhirnya ikut mati. Perkembangbiakan pun terhenti.

Owa Jawa di kandang observasi (dok.Pertamina)
Owa Jawa di kandang observasi (dok.Pertamina)
Menyusuri hutan lindung

Setelah mendengar penjelasan dari Ibu Badiah, kompasianers dibagi menjadi tiga kelompok sebelum masuk ke hutan konservasi. Saya ada di kelompok tiga, berangkat belakangan sambil menunggu teman-teman yang tadi ke kandang. Setelah bergabung, barulah kami menyusuri hutan, dengan dipandu seorang relawan bernama Pak Pelo.

Sambil berjalan, Pak Pelo menerangkan apa yang ada di hutan itu. Ternyata selain Owa Jawa, hutan lindung ini juga menjadi habitat macan tutul dan Elang Jawa. Tapi kita tidak perlu kuatir mengenai macan tutul karena biasanya binatang buas ini menghindari manusia. Sedangkan elang Jawa ada di atas pepohonan.

rambu tentang hewan di Bedogol (dok.pri)
rambu tentang hewan di Bedogol (dok.pri)
Menurut Pak Pelo, hutan ini memiliki 83 jenis tanaman obat dan berkhasiat yang bisa digunakan. Ada daun-daunan untuk mengobati penyakit batuk, meriang dll.  Ada pula tanaman yang bermanfaat untuk kecantikan, bahkan ada  yang bisa dimakan, jika kita kepepet kehabisan makanan di dalam hutan. Sambil berjalan, Pak Pelo menunjukkan daun-daun yang bermanfaat. Tapi kita harus waspada juga, karena ada pula tanaman yang membuat kulit menjadi gatal, walau tersedia penangkalnya. 

trekking (dok.Yayat)
trekking (dok.Yayat)
Trekking menyusuri hutan ini sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya sekitar 1,3 km saja. Namun karena medannya licin dan naik turun, agak terasa berat. Terutama bagi kompasianers yang jarang olahraga dan berat badan 'berlebih'. Alhamdulillah, sebagai pecinta alam, saya masih bisa enjoy naik turun gunung walau usia semakin bertambah.

jembatan gantung (dok.kompasiana)
jembatan gantung (dok.kompasiana)
Di tengah perjalanan kami melewati jembatan gantung yang disebut Canopy trail. Jembatan ini 'hanya' berada 45 meter dari permukaan tanah, tergantung di antara pepohonan besar. Jembatan ini tidak boleh dilewati banyak orang sekaligus, tapi maksimal lima orang (termasuk yang gendut), supaya tidak rentan putus. Selama kami lewat, jembatan ini bergoyang-goyang.

di tengah Canopy trail (dok.pri)
di tengah Canopy trail (dok.pri)
Perjalanan menanjak yang membuat sebagian kompasianers mulai kehabisan nafas, termasuk beberapa admin. Akhirnya mereka menyempatkan diri istirahat dengan duduk di akar-akar pepohonan besar. Setelah merasa  lebih kuat, baru kemudian melanjutkan trekking kembali ke asal semula. Saya merasa sehat dan bugar dengan trekking ini.

foto sebelum meninggalkan hutan (dok.Asita DK)
foto sebelum meninggalkan hutan (dok.Asita DK)
Selesai trekking, kami kembali istirahat di tempat semula. Setelah itu, mengabadikan kebesamaan kompasianers dan Pertamina di depan pintu gerbang, dengan deretan mobil jeep yang akan menghantar kami. Perjalanan balik off road tidak seseram pada waktu keberangkatan karena sebagian tanah mulai mengering.

Makan duren dan rafting

Turun dari Land Rover, sebagian pakaian kompasianers kotor terkena cipratan lumpur. Begitu pula kaos putih yang saya kenakan, di lengan dan di punggung penuh totol lumpur yang bakal sulit dihilangkan. Biarlah, menjadi kenangan yang tak terlupakan. Kami lalu naik bus lagi, dibawa ke Warso farm yang terkenal akan duren lezatnya.

Di Warso farm ada patung duren dan buah naga raksasa yang menjadi identitas tempat ini. Makan siang yang terlambat terasa nikmat, karena perjalanan tadi menguras energi. Usai makan nasi, kami disuguhi duren yang sudah matang dan harum semerbak. Masing-masing satu buah duren untuk satu meja yang berisi empat orang. Sambil istirahat, kami mendengarkan uraian Mas Agus dari CSR Pertamina, tentang program-program Pertamina yang lain.

Kami istirahat di hotel Amaris Bogor. Lalu esok paginya sudah bersiap rafting di sungai Caringin. Arung jerang menjadi salah satu kesukaan saya karena penuh tantangan. Satu tim lima orang dengan satu pemandu. Perahu karet melewati empat jeram yang cukup menegangkan. Kami menikmati arung jeram ini sambil berteriak dan perang air sepuasnya.

Puas bermain air di sungai Caringin, kami makan siang bersama di sekitar Batu Tulis. Di sana kami juga mendengarkan paparan tentang program CSR Pertamina di jalur Pantura, khususnya Subang, dalam memberdayakan masyarakat miskin. Budi daya jamur dan daur ulang limbah menjadi fokus pendidikan di sana. Pertamina memang luar biasa dalam berupaya membangun negeri ini.

rafting (dok.kompasiana)
rafting (dok.kompasiana)
Eco Run Pertamina

Dalam rangka mendukung pelestarian alam dan penyelamatan satwa langka,  khususnya Tuntong laut dan Owa Jawa. Pertamina menyelenggarakan event lari yang terbuka untuk umum. Ada dua pilihan, yaitu  5 km dan 10 km.  Start dimulai di Taman Impian Jaya Ancol.  Ayo buktikan kepedulian kita dengan mengikuti event ini. Informasi lebih lanjut bisa dilihat di  https://www.imroadrunner.com/pertaminaecorun2017

pertamina eco run
pertamina eco run

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun