Sekarang ini, kita melihat betapa mudah orang menjadi emosi. Hanya karena masalah kecil, bisa menyebabkan pertikaian, konflik horisontal, hingga terjadinya kerusuhan. Sebuah istilah yang sekarang populer adalah 'sumbu pendek'. Kita menjadi mudah terbakar emosinya dan melakukan tindakan yang merugikan.Â
Tentu kita masih ingat apa yang terjadi pada pertarungan Pilkada Jakarta, perang itu merupakan kelanjutan dari perang Pilpres 2014. Masing-masing kubu yang saling membela pemimpinnya masing-masing,tidak ada yang mau mengalah. Kebencian seakan dipelihara untuk eksistensi dalam dunia politik. Masyarakatpun terpecah belah. Apakah karena rasa humor telah lenyap dari masyarakat Indonesia?
Menyikapi perkembangan tersebut, maka IHIK3 menggelar acara diskusi dengan tajuk 'Humor Masa Kini VS Humor Masa Gitu' di perpustakaan humor, Ke Kini Ruang Bersama Cikini, Jakarta Pusat, Rabu 11 Oktober yang lalu. hadir dalam kesempatan itu adalah nama-nama yang sudah tidak asing lagi di dunia komedi, antara lain  Seno Gumira, Dedi 'Miing' Gumelar Bagito, Maman Suherman, dan penggagas IHIK3, Danny Septriadi, Novrita Widyastuti (CEO IHIK3), Yasser Fikry (CCO IHIK3), serta Dina Tuasuun.Â
Dina Tuasuun yang sangat peduli pada dunia anak-anak mengemukakan pentingnya mempelajari humor untuk anak-anak. Â Ia menilai bacaan anak-anak sekarang tidak membuat jiwa anak tumbuh dan berkembang dengan baik. Â Padahal, sewaktu kecil ia sangat suka membaca majalah AMI (Anak Manis Indonesia). Majalah itu mampu mebuatnya terpingkal-pingkal. Sayangnya majalah itu telah lenyap dari peredaran.
"Tidak banyak lagi humor bagi anak masa kini," kata Dina. Padahal humor merupakan nutrisi penting bagi pertumbuhan jiwa anak.
Menurut Klein, dari buku Humor in Children Lives by Koller, humor berfungsi mengeratkan ikatan sosial, melepaskan tekanan dan mengendurkan ketegangan, merayakan kehidupan, menghapus kedirian, memacu pemikiran, memperbaiki kesalahan, menyeimbangkan kesakitan, bahkan menjadi terapi dan katarsis.Â
Puluhan tahun yang lalu, sebelum abad 21, kita masih mendapat asupan humor dari buku dan majalah, lagu-lagu jenaka dan permainan tradisional. Tetapi bagaimana dengan anak-anak sekarang? Anak-anak makin terbebani dengan berbagai persoalan, terutama di kota-kota besar. Jadual yang padat tak memungkinkan mereka bersosialisasi. Bahkan mereka dipaksa mengikuti kebiasaan orang dewasa. Belum lagi serangan dari dunia digital.
Maka tak heran jika  kehidupan anak-anak menjadi gersang. Mereka mudah dipengaruhi dan diekspoitasi. Tengok saja, ketika pilkada DKI, ada anak-anak yang disuruh menyanyikan lagu 'bunuh Ahok'. Orang dewasa yang tak bertanggungjawab mengarahkan mereka kepada hal-hal negatif, yang semakin menjerumuskan mereka ke dalam dunia kegamangan.
Srimulat VS Stand Up Comedy
Maman Suherman menguraikan tentang perbedaan 'humor masa kini' dengan 'humor masa gitu'. Kebanyakan orangtua seperti kita hidup pada zaman panggung Srimulat, Jayakarta Group, Bagyo CS, Bagito, atau lebih lama lagi di masa Pak Item. Kita menikmatinya melalui satu-satunya televisi yang 'menjalin persatuan dan kesatuan'.
Sedangkan di zaman sekarang, yang lagi booming adalah stand up comedyyang berbau 'barat'. Stand up comedy memang cukup menghibur, mengisi kekosongan era yang kurang humor ini. Sayangnya para komedian yang nyemplung di sini, sebagian besar kurang 'iqra' atau kurang membaca untuk menambah wawasan.
Humor-humor yang diciptakan dalam stand up comedy hanya seputar diri sendiri, atau lingkungan terdekatnya, teman-teman maupun keluarga. Â Memang ada sih, yang menyimak permasalahan-permasalahan aktual dari media massa, tetapi tidak banyak. Padahal literatur untuk mengasah seseorang menjadi komedian yang baik tersedia. Misalnya tulisan Herry Gendut Janarto yang berjudul "Bagito, Trio Pengusaha Tawa" yang diterbitkan Gramedia tahun 1995.
Â
Maman menyoroti rendahnya minat baca masyarakat Indonesia. Menurut data Unesco, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001. Artinya hanya ada satu orang yang membaca di antara 1000 orang. Kalau penduduk Indonesia 250 000 000, maka yang membaca hanya 250 000 orang. Berbanding terbalik dengan penyalahgunaan narkoba yang mencapai 5,9 juta orang. Setiap hari orang yang tewas karena narkoba adalah 33 orang. Â jadi, orang Indonesia lebih suka narkoba daripada membaca buku.
Humor yang tanpa wawasan (termasuk banyak baca) adalah dangkal. Karena itu Umar Kayam berharap pada Bagito, dan bisa menjadi pembelajaran komedian lainnya agar dagelan tidak cetek (dangkal) atau pun enteng, tetapi penuh kedalaman dan kematangan dalam pengamatan. Ia  ingin sekali ada 10 grup lawak sekelas Bagito.
"Ini penting karena kebanyakan birokrat sekarang miskin sense of humor. Dalam menjalankan roda pemerintahan sehari-hari, mereka terlalu spanning,tegang dan yakyakan, serba bergegas, main tabrak. Mereka butuh humor agar hidup mereka bisa lebih rileks, longgar dan sumeleh, berlapang dada. Tidak sedikit-sedikit marah dan tersinggung,"Â
Humor generasi milenial di internet
Berbeda dengan sajian Novrita Widyastuti dan Yasser Fikry yang juga berprofesi sebagai dosen. Menurut mereka, sebetulnya generasi milenial Indonesia memiliki selera humor yang sama dengan milenial global. Namun secara khusus, mereka menyukai guyon parikena, humor santun yang khas Indonesia.
Generasi milenial dijuluki dengan "The Me, Me, Me Generation" oleh majalah Time pada tahun 2013. Perilaku generasi milenial yang narsistik tiga kali lipat dari generasi sebelumnya. Mereka selalu ingin diperlakukan nomor satu, percaya diri berlebihan dan egoisme yang tinggi. Namun di balik itu semua, mereka memiliki kelebihan, yaitu baik hati, berpikir positif dan menerima perbedaan.
Milenials adalah generasi yang lahir antara 1982 s/d 2001 yang merupakan anak-anak dari generasi baby boomers dan generasi x. Â generasi ini memiliki kepercayaaan diri yang tinggi dan memandang teknologi sebagai kekuatan untuk kebaikan. Generasi ini dan generasi berikutnya adalah generasi yang sulit lepas dari gawai, belajar apapun dari mbah Google. Mereka adalah generasi visual dan video.
Bentuk penyampaian humor bagi generasi ini telah berubahd ari generasi sebelumnya. Dengan melimpahnya tren di media baru membuat mereka memilih cara mereka sendiri untuk mengikuti tren atau arus utama. tren ini meliputi meme, GIF dan Video (Padveen 2017). Sehingga generasi yang lebih tua sebaiknya tahu jenis humor yang mana dan transmisi humor apa yang tepat.
Gaya bahasa juga merupakan identitas sebuah generasi. Bahasa yang digunakan dalam humor di masa lalu, sudah berbeda dengan gaya bahasa di masa kini. Perbedaan ini sering menimbulkan kesalahpahaman. Tetapi pada intinya, generasi milenial tidak menyia-nyiakan internet sebagai media ekspresi dengan menggunakan humor sebagai daya tarik sekaligus pengembangan kreatif. respon pengguna media sosial menjadi tolak ukur sebuah materi humor dapat diterima atau gagal.
Humor di masa Orde Baru
Dedi 'Miing' Gumelar dari Bagito, Â menceritakan bagaimana humor di masa Orde Baru. Pemerintahan yang dipimpin Presiden Soeharto terkenal sangat otoriter, membuat masyarakat takut untuk berpendapat, atau bahkan untuk berekspresi. Dalam melawak pun harus hati-hati, karena takut 'dilenyapkan' dalam operasi khusus.
Warkop DKI memelopori kritik melalui humor, sehingga lolos dari kegalakan Orde Baru. Namun, Bagito hampir saja mengalami kesulitan ketika berhadapan langsung dengan penguasa Orde Baru. Mereka diminta melawak pada sebuah event, yang dihadiri  oleh Presiden Soeharto. Bagito CS cemas dan sport jantung.
Miing menceritakan bagaimana Bagito datang ke event tersebut dengan mengenakan pakaian tradisional. Mereka berpakaian adat asal masing-masing. Unang yang mengenakan pakaian Jawa, membawa keris di punggungnya. Ia dianggap membawa senjata tajam. Keris harus diletakkan. Unang berusaha berkelakar dengan paspamres. Namun ia justru ditegur secara keras.
Mereka tidak dapat masuk kalau tidak disusul panitia, yaitu Ibu Yogie S Memet dan Ibu Suryadi (Gubernur DKI). Ketegangan belum selesai, di dalam mereka diinterogasi lagi. Dalam ruangan pun ada penjagaan ketat dengan paspampres yang menyematkan pistol di kakinya. Bagaimana mereka mau melawak dengan keadaan seperti itu?
Untunglah ternyata di antara penonton yang berada di balkon, bukan orang-orang pemerintahan. Ada pula teman-teman dari kampus yang meneriakkan semangat. Miing dan kawan-kawan sangat terbantu dengan spirit dari mereka dan akhirnya berani memulai lawakan. Meski semula agak kaku, tapi lama kelamaan mencair.
"Sebenarnya humor masa lalu dan masa kini tidak banyak berbeda. Justru yang berbeda adalah momennya," tandas Miing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H