Suku Kurdi di wilayah Irak Utara baru saja selesai menjalani voting untuk referendum. Boleh dikatakan, pemilihan tersebut berjalan lancar, nyaris tanpa gangguan, kecuali sebuah insiden penembakan di distrik Tuz Khurmatu. Pemerintah Irak menyatakan bahwa referendum berlangsung sukses. Meski begitu, selama pemilihan berlangsung, militer Irak melakukan penjagaan dengan ketat.Â
 Sebagaimana diberitakan sebelumnya suku Kurdi di Irak hendak melepaskan diri dan mendirikan negara baru. Suku Kurdi sebagian besar mendiami wilayah Utara Irak. Selebihnya adalah orang-orang Turki dan Arab yang telah lama bermukim di sana. Orang-orang Turki dan Arab memboikot referendum ini.
Suku Kurdi memang tidak hanya berada di negeri Saddam Hussein tersebut, tapi juga ada di tiga negara lainnya yaitu Iran, Suriah dan Turki. Karena itu, referendum diperkirakan akan membawa sejumlah masalah. Turki dan Iran menentang referendum tersebut, masalah-masalah itu bisa menjadi bom waktu yang tidak diinginkan.
Berikut ini  kemungkinan buruk yang bisa terjadi akibat pengaruh referendum:
Pertama, referendum  bisa mendorong suku Kurdi yang berada di wilayah negara lain (Turki, Iran dan Suriah) untuk menuntut hal yang sama. Di Turki, suku Kurdi lebih banyak menempati provinsi yang berada di perbatasan Iran dan Suriah. Jumlah suku Kurdi cukup besar di Turki. Meski saat ini kebanyakan mendukung partai AK Parti, tetapi tidak menjamin bahwa mereka melepas keinginan untuk merdeka.
Jika ada provokasi dari pihak oposisi, partai sosialis atau liberal, maka suku Kurdi akan memberontak terhadap pemerintah Turki yang sah di bawah kepemimpinan Erdogan. Di atas kertas, pemerintah Turki mampu meredam percobaan kudeta sebagaimana yang terjadi pada tahun lalu. Namun mau tak mau akan memengaruhi stabilitas ekonomi dan politik dalam negeri.Â
Dalam hal ini Iran, yang juga seia sekata dengan Turki, juga tidak mau jika suku Kurdi menginginkan referendum. Iran yang harus selalu berhati-hati karena menjadi incaran AS karena nuklirnya, akan kewalahan menjaga stabilitas negara. Hal ini sangat rentan mengancam perekonomian Iran.
Kedua, seandainya suku Kurdi mendirikan negara baru, maka resiko yang harus ditanggung. Suku Kurdi tidak memiliki 'bekal'yang cukup untuk menjadi negara utuh. Mereka tidak mempunyai sumber daya alam atau aset yang dapat diandalkan untuk menghidupi rakyatnya. Kalau memaksakan diri menjadi sebuah negara, mereka akan bergantung pada negara-negara lain. Contoh buruk adalah Timor Leste yang masih menjadi beban PBB.
Ketiga, Kalau Suku Kurdi berhasil mendirikan negara baru, bisa dipastikan akan menjadi negara boneka dari Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu, dalam sidang PBB minggu lalu telah menyatakan bahwa Tel Aviv mendukung terbentuknya negara baru untuk suku Kurdi.
Keberadaan negara boneka jelas sangat membahayakan keamanan negara-negara Teluk Persia. Negara boneka bisa menjadi basis Barat, AS dan sekutunya, untuk mengacaukan  stabilitas Teluk Persia agar dapat menguasai negara-negara Islam di kawasan tersebut. Hal ini sangat penting untuk penjualan senjata dan penguasaan sumber-sumber minyak.
Beberapa hal dilakukan pemerintah Turki untuk mengantisipasi dampak dari referendum di Irak. Misalnya, dengan menyelenggarakan latihan militer secara besar-besaran di perbatasan Turki dnegan Irak. Turki dan Iran juga memperketat penjagaan di setiap perbatasan. Orang-orang Kurdi yang tinggal di perbatasan mendapat pengawasan khusus.
Erdogan sendiri menyatakan dengan tegas, tidak akan ragu menggunakan kekuatan militer jika memang diperlukan. Â Apa yang telah terjadi di Suriah, dapat diterapkan untuk antisipasi dampak referendum di Irak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H