Fakta sejarah memperlihatkan bahwa Indonesia dan Turki telah menjalin hubungan yang erat jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Turki adalah salah satu negara yang mendukung kemerdekaan Indonesia, selain Palestina. Hubungan itu dimulai dari interaksi kerajaan-kerajaan atau wilayah-wilayah berpenduduk muslim di Indonesia.
Pada tahun 1904, sudah ada sekitar delapan konsul yang ditempatkan Turki di beberapa wilayah Hindia Belanda (Indonesia). Sedangkan pada tahun 1905 telah didirikan organisasi Jamiyat Khoir oleh keturunan Arab di Nusantara (Turki dianggap masuk jazirah Arab). Berita-berita tentang gerakan organisasi tersebut sampai ke Istanbul.
Perlu diketahui, pada umumnya sultan/raja-raja di Indonesia bersumpah setia kepada khalifah di Istanbul yang dianggap sebagai negara khilafah/negara Islam. Umat muslim di Indonesia marasa menjadi bagian dari kekhalifahan Turki. Penduduk Aceh adalah yang pertama kali memproklamirkan hal itu.
"Sesungguhnya kaum muslim Aceh mengakui khalifah di Istanbul," Begitu tulisan yang ada di Sumatera Post pada tahun 1922.
Sebagai bukti pengakuan orang Aceh, mereka juga menyatakan bahwa tanah Aceh adalah bagian dari negara Islam. hal ini yang ternyata mendorong perlawanan mereka terhadap penjajah Belanda. Sumatera Post menuliskan bahwa serangan-serangan Aceh menjadi hal penting karena merupakan jihad fisabilillah.
Turki memang tidak main-main dalam mendukung Indonesia. Negara itu mengirimkan perwakilannya ke Batavia. Konsulat Turki menyokong gerakan-gerakan pribumi Islam. Sumatera Post juga memberitahukan bahwa Turki Utsmani telah mengirim misi rahasia untuk  mendukung kaum muslimin.
"Konsul Belanda di Konstantinopel (Istanbul) telah memperingatkan pemerintah Belanda bahwa utusan rahasia Muhammedan telah dikirim dari Turki ke Indonesia  untuk memotivasi orang- orang Islam untuk memberontak pada penjajah," (sumber Deliar Noer, Bendera Islam, Jakarta, 22 Januari 1925).
Gerakan Islam Nusantara
Maka kaum muslim di Nusantara berusaha menyatukan langkah untuk melawan penjajah Belanda. Harus diakui, beberapa kesultanan telah dikuasai dan tunduk kepada Belanda. Namun hal itu tidak menyurutkan api perjuanan mereka. Dengan dukungan dari Turki, mereka semakin yakin untuk menghimpun kekuatan.
Tokoh sentral yang menjadi motor pergerakan ini adalah Sultan Hamid II yang menyatakan,"Kita wajib menguatkan ikatan dengan kaum muslim di berbagai belahan dunia. Kita wajib saling mendekat dan merapat dalam intensitas yang kuat. Sebab tidak ada lagi harapan di amsa depan kecuali dengan kesatuan ini."
Gagasan yang dilontarkan Sultah Hamid II kemudian dikenal sebagai pan-islamisme. Upaya penguatan Islam ini telah sampai ke Hindia Belanda (Indonesia). Konsul Turki yang ditempatkan di Indonesia, membagi-bagikan Alquran atas nama Sultan. Bahkan ada karya-karya theologi Islam berbahasa melayu yang dicetak di Istanbul.