Polemik tentang kasus Munir semakin memanas dan kian menjadi bola liar yang sulit direka-reka kemana akan berlari. Orang yang paling mendapat sorotan saat ini adalah mantan Presiden SBY yang dianggap sebagai pemegang kunci hilangnya dokumen hasil TPF Munir. Hal ini diperkuat dengan kesaksian mantan Mensesneg Yusril Ihza Mahendra yang mengatakan bahwa dokumen tersebut diserahkan langsung kepada SBY. Sebagaimana diketahui, Tim TPF menyelesaikan masa tugasnya ketika SBY menjabat sebagai Presiden.
Lantas Jokowi mengijinkan Jaksa Agung untuk memeriksa SBY. Apa sebenarnya yang mendasari Jokowi bersikap seperti itu? Apakah jokowi sengaja hendak menyerang SBY? Tidak, terlalu naif jika kita mengira demikian. Apalagi Jokowi tidak memiliki permasalahan khusus dengan SBY. Hubungan mereka sebagai sesama pemimpin baik-baik saja. Walau bisa dikatakan tidak dekat, tetapi juga tidak jauh. Tidak ada permusuhan antara Jokowi dengan SBY. Jadi sebenarnya, penyelidikan terhadap SBY Â bukanlah tujuan yang sebenarnya.
Tampaknya ada  sasaran yang hendak dicapai Jokowi dengan mencuatnya kasus Munir tersebut. Hilangnya dokumen, entah sengaja atau tidak, menjadi blessing in disguese bagi Jokowi.  Kasus ini mungkin akan merugikan pihak-pihak tertentu, terutama yang memang terlibat di dalamnya. Namun dari sisi  justru akan menguntungkan Jokowi. Kasus ini menjadi nilai tambah untuk Jokowi.Â
Mengapa demikian? Kasus ini sempat mengendap selama beberapa tahun. Pada masa pemerintahan SBY, kasus ini diredam sedemikian rupa, meski para aktifis terus berusaha menyuarakan agar kasus ini kembali dibuka. tahun ini merupakan tahun kedua bagi pemerintahan Jokowi yang kurang stabil. Â Kasus Munir membuka kesempatan bagi Jokowi untuk menarik perhatian masyarakat. Jokowi pun bisa mendapat perhatian dari dunia internasional karena menunjukkan itikad baik dalam penegakan hukum dan HAM.Â
Apakah Jokowi berani?
Masalahnya, apakah Jokowi memang memiliki keberanian untuk membongkar kasus Munir. Â Pembunuhan terhadap Munir terjadi 12 tahun yang lalu. Waktu itu yang menjadi Kepala BIN adalah Hendropriyono, dan yang menjabat sebagai Presiden masih Megawati Soekarnoputri. Tewasnya Munir diduga merupakan operasi intelejen karena ada indikasi menjual rahasia negara. Benar tidaknya Munir menjual rahasia negara belum jelas, tetapi yang jelas adalah bahwa Hendropriyono sebagai Kepala BIN selayaknya tahu dan bertanggung-jawab terhadap pembunuhan tersebut. Walau dia selalu menyangkal keterlibatannya di berbagai media massa.
Jika ingin mengungkap kasus Munir, Jokowi harus menugaskan Jaksa Agung untuk mengejar dan mencecar Hendropriyono. Tak perlu mencari dokumen yang hilang, tetapi susuri saja jejak dari awal. Dengan sendirinya, Hendropriyono bisa menjadi pembuka dalam kasus ini. Sekali lagi, sebagai Kepala BIN, sangat mustahil jika Hendropriyono tidak mengetahui operasional yang menewaskan Munir. Satu hal yang menjadi tanda tanya, siapakah yang memerintahkan Hendropriyono 'menangani' Munir. Secara logika, tidak mungkin ia bergerak sendiri tanpa dukungan politis dari seseorang yang berpengaruh.
Nah, Kepala BIN beada di bawah komando sang Presiden. Sebagai kepala negara dan sebagai panglima tertinggi, Presiden seharusnya mengetahui apa yang dilakukan oleh anak buahnya. Kepala BIN pun harus melapor kepada Presiden tentang pelaksanaan tugasnya. Pada saat itu, Megawati menjabat sebagai Presiden, otomatis Hendropriyono ada dalam kendali Megawati. Â Mungkin mudah bagi Jokowi untuk menjadikan Hendropriyono sebagai sasaran tembak. Toh, di kalangan militer, tidak semuanya menyukai sosok Hendropriyono. Â Namun sangat sulit bagi Jokowi jika harus menyeret nama Megawati.
Keberanian Jokowi menjadi diragukan, mengingat bahwa Megawati mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam pemerintahan Jokowi. Terbukti dengan campur tangan Megawati dalam menyusun kabinet. Terakhir adalah memaksakan Budi Gunawan menjadi Kepala BIN menggantikan Sutiyoso. Â Konon, Hendropriyono memiliki kedekatan khusus dengan Megawati. Dia dikenal sebagai pendukung PDIP. Jadi, jika akan menargetkan Hendropriyono dalam kasus Munir, Jokowi harus bersiap-siap menghadapi campur tangan Megawati. Kecuali jika hubungan Hendropriyono dan mantan Presiden itu telah merenggang.
Beberapa kemungkinan lain
Adanya SBY di tengah-tengah kasus Munir menimbulkan beberapa asumsi. Pertama, SBY bisa menjadikan masalah ini untuk mengangkat partainya yang sedang terpuruk, sekaligus memukul balik kekalahannya dari PDIP dan Megawati yang menjadi rivalnya. Dalam hal ini kesungguhan SBY sedang diuji. Jika ia benar-benar tidak bersalah, maka SBY akan mencari bukti siapa saja yang terlibat kasus Munir, baik dengan dokumen TPF maupun tidak. Sekiranya bukti-bukti itu mengarah pada Hendropriyono dan Megawati, maka ini menjadi suatu kemenangan telak bagi SBY. Citra SBY dan Demokrat akan terangkat, sementara Megawati harus was-was dengan akibatnya pada pemilu mendatang.
Kedua, Jokowi menggunakan SBY untuk membongkar kasus Munir. Ia tidak perlu mengotori tangannya membongkar kasus yang ruwet ini, apalagi jika harus mengusik Megawati. Bagaimana pun juga Jokowi tidak merasa nyaman dengan campur tangan Megawati dalam pemerintahannya. Ia butuh orang atau pihak lain untuk menjinakkan gerak Megawati. Sebenarnya terjadi hubungan simbiosis mutualisma antara Jokowi dan SBY. Mereka berdua bisa diuntungkan bila membongkar kasus Munir. Â Bisa dibilang, ini adalah penyelamatan kedudukan politis bagi mereka berdua.
Terlepas dari semua itu, kemungkinan campur tangan 'pihak luar' akan selalu ada mengingat kasus Munir selalu dikaitkan dengan masalah HAM. Negara-negara Barat, menjadikan isu HAM untuk mengendalikan negara-negara berkembang atau dunia ketiga. Apakah raibnya dokumen tersebut adalah hasil rekayasa mereka untuk mengguncang Indonesia? sulit untuk dibuktikan. Namun sejatinya, penanganan kasus ini merupakan otoritas untuk seorang Jokowi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H