Saya memiliki banyak keponakan dari lima kakak. Â Saat itu ada salah satu kakak perempuan yang masih tinggal di rumah orang tua dengan suami dan kedua anaknya. Mereka menempati paviliun yang tentunya memiliki pintu sambung ke rumah induk melalui dapur. Saya bersama kedua orang tua tetap berada di rumah induk. Dalam keseharian, saya mengurus kedua orang tua yang sudah uzur. Namun selain itu, saya juga mengurus keponakan-keponakan karena bapak-ibunya bekerja.
Kakak perempuan saya adalah guru SMA, maka seharian ia berada di sekolah tempatnya mengajar. Sedangkan suaminya bekerja di sebuah perusahaan swasta yang seringkali mengharuskan pekerjanya lembur. Alhasil, kedua suami istri itu lebih banyak berada di luar rumah. Mereka tidak punya waktu mengurus anak kecuali akhir pekan. Kedua anak-anaknya diserahkan dalam pengasuhan saya. Jadilah saya pengasuh anak tanpa bayaran. Apa boleh buat, karena saya satu-satunya yang masih 'bebas', beban itu diberikan kepada saya. Untunglah saya memang menyayangi semua keponakan tanpa kecuali.
Nah, pada waktu ajaran baru, anaknya yang kedua laki-laki masih duduk di Sekolah Dasar. Baik dia maupun suaminya tidak bisa mengantar anak itu ke sekolah. Mau tak mau saya yang harus mengantar dia. Tidak masalah, setelah mengurus keperluan orang tua, saya bisa menyiapkan dia untuk pergi sekolah. Tapi  malam sebelumnya, sudah dipersiapkan tas dengan segala peralatan sekolah agar tidak ada yang tertinggal.  Setelah Subuh, pakaian dan sarapan juga sudah disiapkan.
Tantangannya adalah anak keponakan saya ini lambat bukan main. Dia senang berkhayal, sehingga dalam melakukan apapun selalu dibarengi dengan khayalan. Maka, mandi yang seharusnya bisa lima atau 10 menit, jadi molor setengah jam. Begitu pula saat sarapan, kalau tidak disuap maka habisnya bisa berjam-jam. Kita harus rajin mencereweti dia agar cepat mengunyah makanan di dalam mulutnya. Kebiasaan buruknya adalah makanan itu hanya diemut tanpa dikunyah. Butuh kesabaran untuk menunggu dia menghabiskan sarapan.
Setelah semua siap, maka saya mengeluarkan sepeda kesayangan untuk mengantar keponakan. Lumayanlah, sekalian berolahraga, saya mengantar anak itu ke sekolah. Saya dudukkan dia di depan, dan saya mengayuh menembus pagi. Saya harus berburu waktu. Biasanya, hari pertama sekolah terjadi perebutan bangku paling depan. Keponakan saya harus mendapat posisi paling depan. Mengingat kebiasaannya berkhayal, maka berada di depan akan membuat perhatiaannya kepada pelajaran dari guru.
Alhamdulillah, saya termasuk paling dulu yang tiba di sekolah berkat lajunya sepeda kesayangan. Selain itu, Sekolah Dasar ini adalah juga sekolah saya waktu dulu. Jadi saya sudah sangat familier dengan tempat ini. Dengan tergesa-gesa saya memarkir sepeda di tempat yang aman, lalu menggandeng keponakan berburu. bangku. Untunglah berhasil mendapatkan bangku paling depan, tepat berhadapan dengan papan tulis. Keponakan saya meletakkan tasnya di meja sambil tertawa-tawa. Ia sibuk memperhatikan teman-temannya yang berdatangan menyerbu masuk ke dalam kelas. Saya menarik nafas lega.
Berkenalan dengan Kepala Sekolah
Bukan saya kalau hanya berdiam diri. Setelah berkenalan dengan beberapa orang tua murid, saya melangkahkan kaki ke ruang kepala sekolah. Saya telah mendengar bahwa kepala sekolahnya baru saja berganti bulan lalu. Saya pikir, lebih baik saya memperkenalkan diri kepada kepala sekolah tersebut. Saya memerhatikan bahwa ruangan kepala sekolah sepi, maksudnya tidak ada tamu. Saya pun mengetuk perlahan dan mengucap salam. Kepala Sekolah bangkit dan menyambut dengan ramah.
Saya dipersilakan masuk ke dalam ruangan. Tanpa diminta saya memperkenalkan diri. Dan lantas kami pun menjadi akrab. Mungkin hal ini disebabkan karena adanya beberapa persamaan di antara kami. Usia kepala sekolah ini hampir sama dengan usia saya. Di samping itu, ternyata ia juga berasal dari Yogyakarta. Sebagai sesama orang Yogya, tentu lebih mudah merasa dekat seperti kawan lama. Tanpa terasa kami berbincang-bincang cukup lama, seputar perjalanan hidup dan pengalaman selama ini.
Dalam kesempatan itu saya memberikan sedikit usulan dan masukan untuk meningkatkan kemajuan di sekolah yang dipimpinnya. Ia menyambut gembira. Bahkan kepala sekolah mengatakan bahwa masukan dari saya sudah menjadi pemikirannya pula. Ia bermaksud menjadikannya program yang harus segera dijalankan. ALhamdulillah, terjadi titik temu di antara saya dengan kepala sekolah. Saya yakin bahwa di tangan dia, akan banyak kemajuan yang bisa diperoleh. Terutama untuk kebaikan para murid di Sekolah Dasar tersebut.
Usai berbincang dengan Kepala Sekolah, saya kembali menjenguk kelas tempat keponakan saya belajar. Dari jendela kaca, saya perhatikan dia sedang memainkan tas ranselnya yang berbentuk mobil di atas meja. Wah, dasar keponakan saya senang berkhayal, ia pun memanfaatkan tasnya untuk berkhayal. Untunglah guru tidak sedang memberikan penjelasan pelajaran yang rumit, tetapi masih berupa perkenalan saja. Dia hanya tersenyum menyaksikan ulah keponakan saya.
Setelah bel pulang berbunyi, anak-anak menghambur keluar mencari orang tua masing-masing. Saya memanggil keponakan agar dia tidak kehilangan arah. Anak itu tertawa gembira melihat saya. Kami pun kembali naik sepeda pulang menuju rumah. Di sepanjang perjalanan ia asyik berceloteh mengenai pengalaman di kelas pada hari itu. Saya menanggapinya sambil bercanda. Yang penting, anak itu bersemangat untuk pergi ke sekolah, walau yang mengantar adalah tantenya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H