Mohon tunggu...
Muthiah Alhasany
Muthiah Alhasany Mohon Tunggu... Penulis - Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah. Moto: Langit adalah atapku, bumi adalah pijakanku. hidup adalah sajadah panjang hingga aku mati. Email: ratu_kalingga@yahoo.co.id IG dan Twitter: @muthiahalhasany fanpage: Muthiah Alhasany"s Journal

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Keseruan Nonton Gerhana Matahari Total di Planetarium

9 Maret 2016   10:59 Diperbarui: 9 Maret 2016   12:08 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Menangkap bayangan GMT dari kacamata khusus (dok.pribadi)"][/caption]

Siapa sih yang tidak ingin menyaksikan fenomena alam yang langka seperti Gerhana Matahari Total? saya pun begitu. Sejak kemarin sudah diniatkan untuk pergi ke Planetarium agar tidak kehilangkan kesempatan tersebut. Maka saya sengaja menginap di kantor yang terletak di sekitar Menteng agar bisa ke planetarium secepatnya. Pagi-pagi buta, sekitar pukul setengah enam saya sudah melangkah keluar bersama seorang teman.

Dengan berkendara bajaj saya menuju Planetarium yang ada di kawasan Taman Ismail Marzuki. Ternyata perjalanan menjadi terhambat karena terjadinya kemacetan jalan menuju lokasi tersebut. Terutama di jalan Cikini satu dan Cikini Raya, padat dengan kendaraan yang nyaris tidak bisa bergerak. Pasalnya, sudah banyak orang yang memarkir mobil di tepi jalan sehingga ruas jalan menyempit. Ketimbang menunggu lama, saya turun dari bajaj dan akhirnya berjalan kaki.

Saya bersama warga lain yang berduyun-duyun datang ke Planetarium. Ada yang sekeluarga lengkap, tidak hanya ayah ibu dan anak, tetapi juga nenek dan kakek turut serta. Ada pula yang bergerombolan bersama teman-teman. Selain itu juga pasangan kekasih. Beberapa orang asing (bule) tampak di sela-sela kerumunan orang yang menyemut di halaman Planetarium. Halaman itu tidak bisa dimasuki kendaraan apa pun karena sudah padat oleh pengunjung.

[caption caption="Halaman Planetarium yang dipadati pengunjung (dok.pribadi)"]

[/caption]

Masalahnya, saya tidak berbekal kacamata khusus untuk melihat Gerhana Matahari. Saya nekad hanya membawa kacamata hitam biasa. Kacamata khusus yang dibagikan sebanyak 2500 secara gratis, sudah habis ludes sejak jam lima pagi. Orang-orang yang berhasil mendapatkan pembagian kacamata adalah mereka yang mengantri sejak jam tiga dini hari! Waah, tidak mungkin saya mengantri sepagi itu karena lebih mementingkan ibadah.

Di atap gedung planetorium tampak beberapa wartawan dari media cetak dan televisi dengan kameranya masing-masing. Sedangkan perhatian pengunjung yang datang lebih banyak menuju layar monitor yang ada di atas Planetarium. Hanya ada enam teleskop yang disediakan Planetarium. Tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pengunjung yang saya perkirakan melebihi 10 000 orang. 

Tempat paling padat adalah di tengah-tengah gerbang halaman TIM yang mirip panggung dengan beberapa undakan tangga. Sebab di situlah kita bisa melihat matahari terbit. Semua orang berlomba-lomba berada di sana sehingga terjadi saling dorong mendorong. Saya menjadi ragu-ragu, apalagi karena tidak memakai kacamata khusus. Saya berpikir keras bagaimana caranya agar bisa menyaksikan Gerhana Matahari Total dengan aman dan menyenangkan.

[caption caption="Tempat paling padat nonton GMT (dok.pribadi)"]

[/caption]

Detik demi detik berlalu, langit pun mulai meredup, pertanda proses Gerhana Matahari mulai berlangsung. Suasananya seperti mendung mau hujan, tapi tidak menjadi gelap pekat karena Gerhana Matahari di Jakarta tidak mencapat 100 %. Orang-orang semakin berebut di panggung utama. Saya juga tambah kepingin berdesakan seperti mereka. Tidak akan puas rasanya jika tidak melihat langsung. Akhirnya saya juga berusaha menyusupkan diri di antara mereka.

Orang-orang di sebelah menyebelah menggunakan kacamata khusus Gerhana Matahari.  Kacamata hitam saya tidak bisa menangkap secara baik, hanya garis matahari yang berbentuk sabit. Cahayanya masih menyilaukan. Pikir punya pikir, saya lalu memberanikan diri meminjam kacamata itu dari salah seorang pengunjung. Oh, ternyata memang beda. Dari kacamata itu tampak jelas bentuk Sang Surya yang sedang 'ditelan' bulan, karena sekelilingnya dibuat menjadi gelap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun