Mohon tunggu...
Muthiah Alhasany
Muthiah Alhasany Mohon Tunggu... Penulis - Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah. Moto: Langit adalah atapku, bumi adalah pijakanku. hidup adalah sajadah panjang hingga aku mati. Email: ratu_kalingga@yahoo.co.id IG dan Twitter: @muthiahalhasany fanpage: Muthiah Alhasany"s Journal

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Blusukan ke Pabrik dan Perkebunan Teh Malabar Bersama Best Western Hotel

1 Maret 2016   20:19 Diperbarui: 2 Maret 2016   08:27 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Keranjang berisi daun teh dikerek ke atas (dok.pribadi)"]

[/caption]Setelah itu kami memasuki ruangan dimana terlihat mesin-mesin giling yang sudah sangat tua masih berjalan dengan baik menggiling daun-daun teh yang telah dipilah-pilah tadi. Bau harum teh yang sangat menyengat memenuhi ruangan. Pantaslah jika para pekerja pabrik selalu merasa segar karena ada kandungan kafein yang terhirup bersama keharuman itu. Teh mengandung kafein walau tidak sebanyak kopi.

[caption caption="Mesin-mesin tua yang masih bekerja dengan baik (dok.pribadi)"]

[/caption]Lantas kami dibawa ke sebuah laboratorium kecil dimana daun-daun teh diteliti kualitasnya. Ternyata hasil dari pabrik teh Malabar ini berkualitas premium. Untuk konsumsi dalam negeri, kita mengenal dengan merek Walini. Sedangkan untuk ekspor ke luar negeri tidak diberi merek. Negara yang mengekspor yang memberi mereka. Sebenarnya ini kerugian kita karena masyarakat dunia mengira teh tersebut produksi negara itu, padahal berasal dari Indonesia. Bahkan white tea yang sedang naik daun juga dihasilkan pabrik ini.

[caption caption="Pemilihan kualitas teh (dok.pribadi)"]

[/caption]Kami dipersilakan pula mencicipi secangkir teh segar yang baru diseduh. Teh fresh ini memang berbeda kenikmatannya dibandingkan yang telah dikemas dan dijual di pasaran. Walau tanpa gula, kami dapat merasakan kesegarannya. Warnanya pun terlihat cantik.

[caption caption="menyajikan teh segar dari pabrik (dok.pribadi)"]

[/caption]Puas berkeliling di dalam pabrik, kami keluar lagi. Di halaman masih saja ada kompasianers yang memanfaatkan mesin-mesin tua untuk berfoto-foto, termasuk mbak Adventa Pramushanti, marketing Communication Best Western Hotel. Lalu kami kembali ke halaman depan pabrik, foto bersama untuk dokumentasi.

Perjalanan dilanjutkan dengan mengunjungi makam Bosscha yang berada di tengah-tengah perkebunan teh. Makamnya dinaungi bangunan tapa dinding, dengan pilar-pilar tinggi. Tidak ada suasana seram di sini karena taman di sekelilingnya penuh bunga indah. Halamnnya pun tertata apik dan bersih karena dirawat setiap hari. Ada dua bangku taman yang disediakan bai orang yang ingin bersantai di makam itu.

[caption caption="di sini tempat peristirahatan Bosscha (dok.pribadi)"]

[/caption]Di depan makam ada prasasti atau monumen yang menerangkan jasa-jasa Bosscha. Kita bisa membacanya dengan jelas sehingga mengerti bahwa Bosscha adalah orang Belanda yang baik, tidak seperti kebanyakan orang Belanda lainnya yang hanya menjajah dnegan kejam.

[caption caption="Tercantum jasa-jasa Bosscha di prasasti ini (dok.pribadi)"]

[/caption] Pemandu agrowisata mengajak kami melakukan tea walk, dimulai dari jalan setapak yang baru dibuka dari samping makam Bosscha. Jalannya menurun dan menanjak sehingga bagi yang jarang berolahraga, pasti merasa berat. Begitu pula dengan saya, kaki ini terasa lunglai. Kami tiba di perkebunan teh pertama dimana pohon-pohon tehnya sudah meninggi. Kebun ini sudah tidak berfungsi kecuali sebagai peneduh. Semula dijadikan kebun bibit dengan diambil bijinya. Sekarang sistem tanam sudah menggunakan stek.

[caption caption="Pohon-pohon teh tertua yang sudah meninggi (dok.pribadi)"]

[/caption]Tea walk berlanjut menyusuri perkebunan teh, untung tanahnya datar sehingga tidak membuat lelah. Bahkan beberapa kali kami berhenti untuk sekedar selfie. Sepanjang perjalanan diisi dengan canda ria. Tak ada jarak antara kompasianers dengan manajemen hotel. Pak Komang sendiri senang mengambil foto-foto kami. Tanpa terasa kami tiba kembali di depan rumah Bosscha. Di sana sudah menunggu makan siang dengan menu yang mengunggah selera, nasi hangat dengan ikan peda di atasnya, ditemani ayam goreng, tahu tempe, lalapan, pisang dan kerupuk. Tak ketinggalan segelas air teh yang hangat melengkapi jamuan tersebut. Kami pun makan dengan lahap.

Sekitar pukul tiga sore kami sudah berada di dalam bus, kembali ke hotel. Bus sempat berhenti di depan kios penjual oleh-oleh. Namun karena hari mulai hujan, kai segera melanjutkan perjalanan. Sungguh hari itu kami mendapatkan pengalaman yang menarik. Kami pulang ke Jakarta dengan hati yang puas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun