Mohon tunggu...
Muthiah Alhasany
Muthiah Alhasany Mohon Tunggu... Penulis - Pengamat politik Turki dan Timur Tengah

Pengamat politik Turki dan Timur Tengah. Moto: Langit adalah atapku, bumi adalah pijakanku. hidup adalah sajadah panjang hingga aku mati. Email: ratu_kalingga@yahoo.co.id IG dan Twitter: @muthiahalhasany fanpage: Muthiah Alhasany"s Journal

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Pengalaman Lebaran di Turki

23 Juli 2015   22:28 Diperbarui: 23 Juli 2015   22:28 1797
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Kami berfoto di halaman dalam Masjid Sultan Ahmet (dok.pribadi)"][/caption]

Tradisi, kebiasaan dan adat istiadat setiap bangsa berbeda-beda. Demikian pula sewaktu saya berada di Turki untuk jangka waktu beberapa lama. Walau sebagian besar penduduknya beragama islam, tetapi memiliki perbedaan dan kekhas-an dalam menjalankan ritual keagamaan.  Misalnya dalam menyambut hari raya Idul Fitri atau lebaran.

Kalau kita membayangkan akan merasakan suasana lebaran yang meriah seperti di tanah air, pasti akan kecewa. Kenyataannya masyarakat di sana tidak dilanda euforia untuk meyambut hari besar itu. Persiapannya nyaris biasa saja, tidak ada yang istimewa. Jarang orang bebersih rumah atau mendandani rumah dalam rangka Idul Fitri. Di sana  masyarakat juga tidak  masak besar-besaran dan tidak pula tergopoh-gopoh untuk membeli baju baru.

Sebagai contoh ketika saya berada di Istanbul dan tinggal di apartemen sebagaimana kebanyakan keluarga lain. Satu hari sebelum hari raya (H-1), biasanya anak-anak berkeliling dari rumah ke rumah untuk mendapatkan sesuatu. Terserah kita mau memberi apa kepada mereka. Kita boleh memberi permen, kue, kacang atau uang. Maka siap-siap saja jika tiap beberpa menit ada yang mengetuk pintu. Sekelompok anak akan muncul dari balik pintu dengan wajah ceria sambil menyodorkan kantong kecil atau menadahkan kedua tangannya. Sedangkan di tanah air, tradisi anak-anak keliling minta THR adalah pada hari H, setelah shalat Idul Fitri dan bermaaf-maafan kepada orangtua.

Pada malam takbiran, tidak ada takbir yang berkumandang bersahut-sahutan. Hanya masjid besar yang melantunkan takbir. Sehingga jika tempat tinggal kita jauh dari masjid besar, kita tidak bisa mendengarkan gema takbir itu. Alhasil, kita sendiri yang bertakbir di depan jendela denga  suara lirih. Karena jika keras-keras, nanti semua orang akan memperhatikan kita. Jadi, malam takbiran rasanya biasa saja, kurang meriah.

Pagi-pagi setelah Subuh saya sudah mandi, bersiap-siap hendak menunaikan shalat Idul Fitri. Namun betapa kecewanya saya karena ternyata masjid terdekat hanya menyelenggarakan shalat Ied hanya untuk laki-laki. Tidak ada wanita yang ikut shalat hari raya. Padahal masjid itu tidak termasuk masjid kecil, ukurannya sedang dan dapat menampung ratusan jamaah. Apa boleh buat, akhirnya saya memanggil taksi agar bisa menyusul shalat di Masjid Sultan Ahmet, yang juga terkenal sebagai Masjid Biru atau blue mosque.

Sepanjang perjalanan suasana sepi dan lengang. Sampai disana saya segera menacri tempat untuk jamaah perempuan. Masjid bersejarah itu memang dipadati oleh ribuan jamaah, tetapi 99% adalah jamaah laki-laki. Mereka membludak hingga di halaman belakang yang sudah digelar karpet. Sedangkan jamaah perempuan bisa dihitung dengan jari, jumlahnya tak lebih dari 30 orang. Dan kebanyakan dari jamaah perempuan itu adalah orang Indonesia. Hal itu bisa dikenali dari mukena yang dipakai, karena wanita Turki tidak mengenal mukena. Mereka shalat hanya mengenakan rok pajang, baju lengan panjang dan hijab. Ternyata wanita Turki tidak lazim mengikuti shalat di masjid.

[caption caption="selesai shalat, jamaah pria membubarkan diri (dok.pribadi)"]

[/caption]

[caption caption="jamaah wanita sangat sedikit (dok.pribadi)"]

[/caption]

Memang para pria mengenakan baju terbaik, yaitu setelan jas lengkap. Sedangkan pria Indonesia, bisa memakai batik atau kemeja. Kita bisa mengenali teman-teman Indonesia dari bentuk tubuh, warna kulit, cara berpakaian dan cara berbicara. Di sana saya bertemu dengan banyak teman-teman asal Indonesia, ada yang sudah menikah dan ada yang menjadi mahasiswa. Namun kami gembira bisa berkumpul, terasa persaudaraan yang sangat kuat.

Setelah shalat selesai, jamaah bubar. Saya dan teman-teman Indonesia sempat berfoto-foto dahulu sebelum keluar area halaman dalam. Di halaman luar kami bergerombol mencari tempat yang asyik untuk berkumpul.  Kami melihat ada orang Turki yang sengaja membagikan teh gratis, ada yang membagikan permen dan bahkan ada yang menyemprotkan minyak wangi kepada siapa saja yang lewat di dekatnya. Begitu cara mereka berbagi di hari raya ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun