“Sebentar-sebentar, kalau boleh tau apa sih itu style mahasiswa?” tanya kak Muchtar. “Itu lho Tar, kemarin Nashir memberikan istilah bahwa Tri Dharma Perguruan Tinggi itu bisa juga diistilahkan dengan style mahasiswa.” Jawab kak Ali.
“Wah-wah, cerdas sekali Nashir memberikan istilah, istilah yang elegan” ucap kak Muhtar memuji.
“Ya ya, saya paham dengan apa yang dikatakan Nashir. Memang benar bahwa organisasi itu memang alat yang tepat untuk mengetahui performa style kemahasiswaan kita, kenapa? Tapi sebelumnya saya akan memberikan analogi seperti ini, misalnya ada anak usia 1 sampai 1 ½ tahun sudah bisa berjalan, maka kita akan mengatakan bahwa anak tersebut tumbuh normal. Kemudian ada anak yang usianya 5 tahun tapi belum bisa berjalan maka kita akan mengatakan anak tersebut BK –berkebutuhan khusus-, begitu pula dengan pertumbuhan mentalnya, benar tidak?” tanya kak Muhtar setelah memberikan penjelasan panjang lebar. Kepala kami pun hanya mengangguk-angguk saja, memberikan tanda bahwa analogi yang disampaikan dapat kami terima.
“Itu tafsirku terhadap apa yang dikatakan oleh Doktor Iskandar dalam bukunya Psikologi Pendidikan, dia mengatakan bahwa konsep perkembangan itu saling ketergantungan antara fisik dan psikis secara harmonis, begitu katanya. Nah kalau antara fisik dan psikis tidak berjalan dengan harmonis, maka jelas dia berkebutuhan khusus atau tidak normal,” jelas kak Muhtar. Kali ini kami pun hanya menganggukkan kepala saja.
“Oh itu istilahnya kurang se-ONS Tar, hahaha…” celetuk kak Ali, diiringan tawanya dan tawa kak Muhtar. “Maksudnya apa kak?” tanyaku penasaran. “Ah biar kami saja yang tahu,” kata kak Ali.
Kak Muhtar sepertinya akan bicara, dia lemparkan pandangan serius pada kami, “sekarang kita tarik kembali pada kondisi mahasiswa, dikatakan sebagai mahasiswa berarti dia sudah harus siap mengemban 3 kompetensi. Memang terkadang ada diantara mahasiswa yang telah memiliki kompetensi tersebut tanpa harus berorganisasi.”
“Kata pak kiyai itu ilmu laduni, tanpa harus susah payah belajar langsung bisa,” kak Ali menggambarkan mahasiswa yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata tersebut.
“Tetapi tidak sedikit mahasiswa yang harus melalui prosess trial and error terlebih dahulu untuk bisa mencapai kompetensi tersebut,” lanjut kak Muhtar. “Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah cukup trial and error itu dilaksanakan pada prosess perkuliahan? Berdasarkan yang saya ketahui perihal itu sangat jauh sekali dari cukup.”
Dari raut wajah Sri aku melihat ada kebingungan yang sangat mendalam, sepertinya dia kurang memahami alur pembicaraan, ah ternyata benar ada pertanyaan yang ia ajukan “terus kompetensi itu gunanya untuk apa kak?” katanya.
“Apakah kita mau disebut sebagai mahasiswa kurang se-ONS? Katanya itelektual, eh ternyata gak mampu menyampaikan ide dan gagasan dalam bentuk verbal maupun tulisan, disuruh mimpin team katanya gak berpengalaman, dan lain-lain deh.” Kata kak Ali ikut menjelaskan.
“Oleh itu, tidak sembarang para professor, praktisi, dan para ahli dalam merumuskan style mahasiswa, kalau boleh saya pakai istilahnya Nashir.” Ujar kak Muhtar sambil menatap mataku seolah meyakinkan, bahwa kalau bukan termasuk mahasiswa yang diberi kelebihan maka organisasi adalah tempat yang tepat untuk menguji dan meningkatkan 3 kompetensi yang dia maksud. “Mereka sudah mengkajinya secara mendalam mengenai hal itu, agar kita tidak diberi predikat kurang se-ONS oleh masyarakat, makanya mahasiswa harus menggunakan stylenya” lanjutnya.
Truth tut… truth tut… truth tut… truth tut… “walah hp black senter-mu bunyi Tar!,” seru kak Ali. Kami semua tersenyum, dalam hatiku mengaku salut, masih ada ya di era modern seperti ini yang menerapkan gaya hidup sederhana. “Halo pak, ia hari ini sampean ada jadwal di kelas A3,” jawab kak Muhtar sambil melambaikan tangan pada kami, tanda izin meninggalkan kami. Sementara kami pun dengan sendirinya menyudahi obrolan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H