Mohon tunggu...
Mas Bejo
Mas Bejo Mohon Tunggu... -

Orang yang senang dengan perihal yang dapat menggugah jiwa | Aktif di - http://www.kulionline.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kepo Ora Popo

23 Mei 2014   19:52 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:11 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Salam mie instan pak Mari, nama saya Eliana, saya mahasiswi dari Kalimantan.” begitu gadis itu memperkenalkan diri. Dengan posisi tepat belakangku. Karena penasaran aku melirik kebelakang mencoba untuk curi-curi lihat, “yaya... bisa jadi teman baru yang menyenangkan nich, looknya itu lho kira-kira 85-lah nilainya, itu menurut takaran teman-teman kalau mereka melihatnya” pikirku.

“Dari Kalimantan, wow... kalau gitu, mie super dong bukan mie instan. Hahaha...” Jawab pak Mari menggoda dengan iringan aplos dan tawa dari semua orang yang hadir pada acara itu. “Ayo silahkan...,” pak Mari mempersilahkan Eliana untuk menyampaikan maksudnya.

“Saya merasa hidup ini bagaikan perjudian, meskipun kita telah merancang dengan segala kemampuan, toh pada akhirnya saya melihat bahwa hal itu banyak yang hanya berlalu dengan sia-sia?” Aku kerutkan kening, karena otakku tidak dapat mencerna maksud dari pernyataan Eliana. Mungkin begitu juga dengan yang lain. Mereka hanya sok serius aja, dengan mengangguk-anggukkan kepala seolah mengerti maksud Eliana. Tapi aku yakin banyak diantara mereka mungkin  lebih parah dari aku. “Sebagai pemuda apa yang harus saya lakukan pak Mari?” lanjutnya dan seketika itu juga menghentikan perasangka burukku.

Pak Mari bersiap untuk bicara, dia melangkahkan kaki menuju depan panggung. “Sahabatku yang super, masa depan itu suci. Perjalanan waktu yang akan menggoresnya, ketidak pastian mengajarkan kita pada sebuah keimanan bahwa Tuhan itu Maha menentukan.” Sejenak ia menghentikan ucapannya, kemudian mengarahkan pandangan pada orang-orang yang ada di sebelah kanan, lalu ia pun lanjut bicara, “maka itu sebagai manusia kita harus memantaskan diri untuk ditentukan sebagai apa?”

“Masa muda apalagi mahasiswa seperti dik Eliana ini, adalah masa dimana kesempatan untuk memantaskan diri terbuka dengan lebar. Sahabat mudaku yang super, sederhananya adalah buka diri untuk banyak tahu tentang sesuatu, tetapi wajib juga untuk tahu banyak tentang sesuatu..., itu.”

***

Ke esokan hari aku pergi ke toko buku, dengan harapan ada buku yang menarik untuk aku koleksi. Seperti yang aku harapkan, eh ternyata memang benar, ada buku yang membuat aku ingin memilikinya.

Tanpa berpikir panjang lagi aku pun berniat untuk membelinya, ternyata setelah aku perhatikan label harga tertulis Rp. 205 ribu, “waow mahal juga nich buku,” ucapku dalam hati.

“205 ribu, ya mbak?” tanyaku pada penjual. “Ia mas,” jawabnya. “100 ribu boleh mbak?” aku coba menawar siapa tau mbaknya lagi gak sadar dan mau ngasih ke aku dengan harga segitu. “Walah mas..., kalau harga segitu sampean bikin buku sendiri aja...,” jawabnya dengan wajah cemberut. “Lah..., mbak ini gimana sih, aku kesini mau beli buku, bukan untuk bikin buku.” Si mbak pun melempar senyum seolah dia mengerti maksudku, dikiranya mungkin aku bercanda. Padahal beneran lho, aku ini serius..., iya... aku serius...

“Jadi berapa mbak?” lanjutku memaksa. “Ya udah mas 185 ribu aja deh,” ye ye ye jadi dapet potongankan. Setelah selesai membayar aku pun beranjak pergi meninggalkan toko buku itu.

Saat perjalanan pulang ke hotel..., iya hotel..., aku teringat sesuatu, segera aku keluarkan hp dari kantong lalu aku akses facebook. Aku perhatikan di obrolan ada Ayu dan Mila yang sedang on, langsung aja pesan aku kirim ke mereka berdua, “ikut ya workshop menulis LPM Gazebo!” isi pesanku pada mereka. “Enggak ah kak,” jawab mereka sama. “Lho..., kenapa?” tanyaku penasaran dan kecewa. “Aku gak bisa nulis kak,” jawab Ayu. “Males aja kak, aku gak bisa nulis” kata Mila.

Jawaban mereka langsung mengingatkanku pada nasehat teman 5 tahun yang lalu. Pada saat itu dia menjadi moderator pelatihan jurnalistik. Ketika pemateri telah menyelesaikan materi dan sesi tanya jawab, akhirnya sampailah pada gilirannya untuk menyimpulkan, “jadi teman-teman kesimpulannya adalah kalau pengen pintar ya belajar.” Hahaha... begitu katanya, sungguh kesimpulan yang klise, “dari jaman nenek moyang dulu juga begitu, kalau pengen bisa atau pintar ya harus belajar” kata hatiku saat itu merendahkan.

“Nah ya itu..., makanya ikut workshop supaya bisa nulis!” kembali aku kirim pesan ke Ayu dan Mila, haha itu terinspirasi dari nasehat temanku tadi. Aku pikir meskipun hanya nasehat biasa tapi memang begitu hukumnya. “Tek, tek,” tanda ada inbox masuk di facebook, “nah apalagi ya jawaban mereka” tanyaku dalam hati. “Ya mereka hanya kirim emo ini.. :) :) :)”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun