Part 1: Lega
Alhamdulillah lega rasanya saya mendengarkan isi pidato Presiden Republik Indonesia Pak Jokowi pada Rapat Koordinasi Nasional Pemerintah Pusat dan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah di Bogor, Jawa Barat, rabu (13/11/2019).
Kebetulan satu hari sebelumnya saya baru saja menulis curhatan pikiran saya tentang dinamika birokrasi Indonesia terutama soal penyederhanaan birokrasi sebagai kontemplasi dan saran tindak atas wacana besar tentang penyederhanaan birokrasi yang diusung Pak Presiden, yang saya beri judul "Disrupsi Birokrasi" (Bisa dibaca di artikel ini sebelumnya).
Sebenarnya saya sudah mulai agak apatis dan menurunkan level kritis saya melihat fenomena birokrasi kita yang sepertinya tidak maju-maju, selalu mendapatkan sorotan dari masyarakat, dan pemandangan pejabat negara dan pejabat birokrasi yang tak lepas dari jerat kasus pidana.
Ternyata Alhamdulillah Bapak Presiden merasakan hal itu, gerah dengan semua itu, dan Presiden memasukkan agenda penyederhanaan birokrasi sebagai agenda prioritas dalam target kerja Kabinet Periode 2019-2024. Pengalaman atmosfir optimis saya "Duduk Semeja Dengan Jokowi" (dapat dibaca diblog saya empimuslion.wordpress.com) saat Pak Jokowi menjabat Gubernur serasa bangkit dan bergairah kembali.
Namun jika disimak pula pernyataan Menpan-RB saat rapat kerja dengan Komisi II DPR RI hari Senin, 18/11/19, sepertinya gagasan pemangkasan birokrasi oleh presiden diterjemahkan sebagai perampingan oleh Kemenpan, akankah arti, substansi dan harapan yang diinginkan Presiden sama, kita lihat bersama saja.
"Ada tantangan PAN-RB, karena pertanyaan Pak Presiden ke saya, sejauh mana reformasi birokrasi dengan cepat dilakukan. Jadi dalam waktu dekat, kita enggak pangkas birokrasi, tapi merampingkan," kata Tjahjo di Ruang Rapat Komisi II (Tribunnews.com, 18/11/19).
****
Saya memang memiliki perhatian dan kepedulian tersendiri terhadap birokrasi di negara kita, disamping profesi saya sebagai birokrat sehari-hari, saya juga mencoba menjadi pemerhati dan akademisi, karena itu saya beranikan diri untuk menyampaikan ide dan buah pikiran saya.
Terlepas apakah akan dibaca, digunakan atau tidak untuk menjadi bahan pertimbangan bagi yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan. Paling tidak saya sudah berikhtiar, mencurahkan apa yang ada dipikiran saya untuk kebaikan bangsa tercinta ini.
Sebelum ini saya juga sudah pernah menginisiasi, membuat naskah argumentasi hukum dan mengajukan uji materi UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang Aparatur Sipil Negara (pokok pokok pikiran uji materi dapat dibaca di buku saya).
Walaupum hanya dikabulkan sebagian oleh hakim Mahkamah Konstitusi, tetapi paling tidak saya sudah mencoba memberikan masukan buat kemaslahatan dan kebaikan anak bangsa, pun dalam isu dan wacana yang beredar saat ini, sepertinya gagasan saya dalam uji materi UU Nomor 5 Tahun 2004 tentang ASN tersebut kembali menjadi isu dalam revisi UU tentang pemilihan kepala daerah saat ini.
Inti tuntutan dan gagasan saya dalam uji materi tersebut tiada lain hanya menuntut tentang persamaan hak setiap warga negara didepan hukum dan pemerintahan serta kesempatan yang sama dalam pekerjaan yang keduanya dijamin dalam konstitusi UUD 1945, yang mana hak ini dalam UU ASN saya rasakan dikebiri.
Disamping itu saya juga sudah membukukan beberapa pendapat dan gagasan saya tentang pandangan saya terhadap demokrasi dan birokrasi di Indonesia, kumpulan tulisan saya dari berbagai media masa dan blog saya sendiri, dengan judul "Kontemplasi Demokrasi, Politik dan Pemerintahan Pasca Reformasi," (dapat di searching di mbah google). Tiada lain semua catatan itu curhatan kecil demi kebaikan birokrasi dan kemaslahatan negeri ini.
Maaf, tiada maksud saya untuk menyombongkan diri, menyampaikan apa yang pernah saya karyakan tersebut. Apa yang saya lakukan tidak ada apa-apanya jika di bandingkan dengan apa yang sudah dikontribusikan oleh anak bangsa lainnya terhadap kemajuan peradaban birokrasi Indonesia.
Tiada lain saya sampaikan, sedikit apa yang pernah saya ikhtiarkan untuk kebaikan birokrasi Indonesia, hanya sebagai background bagi para pembaca yang budiman tentang saya, sebelum masuk ketopik gagasan reformasi birokrasi yang ingin saya sampaikan.
Sekaligus saya ingin memberikan gambaran betapa serius dan gregetnya saya untuk dapat melihat birokrasi kita maju, modern, profesional, berintegritas dan berwibawa serta dapat dipercaya, ini tentu bukan harapan saya semata, adalah harapan seluruh masyarakat Indonesia.
***
Ada memang beberapa teman saya yang sayang dan risau dengan saya, mereka mengatakan ;
"Mas Empi !"
"Apa nggak takut bikin tulisan yang kritis terhadap pemerintah"
"kan Mas Empi juga PNS."
Saya tersenyum dan bertafakur, saya tarik nafas dalam-dalam, kemudian saya hembuskan pelan-pelan, saya ajak teman saya itu duduk, saya katakan, "Mas, saya tidaklah kritis, saya hanya ingin menyampaikan uneg-uneg, ide, gagasan. Menyampaikan apa yang saya rasa, apa yang saya baca, apa yang saya dengar dan saya alami sendiri. Semua itu bukanlah buat kepentingan saya pribadi, tetapi kepentingan bangsa kita bersama, murni itu jeritan hati saya untuk kebaikan bangsa ini."
Jikapun dianggap kritis, kita kritis kepada diri sendiri dan bangsa sendiri tidak ada yang salah, itu namanya otokritik, otokritik adalah ibarat antibodi bagi kesehatan kita, imun yang diproduksi oleh diri sendiri, lebih mujarab dari obat luar yang sarat dengan racikan kimia. Kecuali kita kritis tetapi tidak ada dasarnya, kritis yang membenci, kritis yang subjektif, kritis yang tidak menawarkan solusi."
Saya tidak pernah menulis dan menyampaikan kritik bertendensi kepada pribadi, golongan, apalagi SARA, murni melihat substansi dari sebuah fenomena dan persoalan. Mencoba membangun narasi berlandaskan data, fakta, memberikan masukan yang konstruktif dan menawarkan alternatif solusi.
Saya memahami sepenuhnya masih banyak pola pikir di ASN, jika kita memberikan masukan kepada sebuah kebijakan pemerintah dianggap mengkritisi, jika mengkritisi diangap keluar dari pakem etika birokrasi, kemudian ditakut takuti, sehingga banyak ASN yang gagap dan takut bersuara.
Saya katakan kepada teman yang menasehati saya tadi. Kita bukan lagi hidup di alam pembungkaman, kita sudah merdeka dan telah melalui zaman ketakutan itu, tetapi saya memahami hal itu, tiada lain bayang-bayang phobia orde baru yang masih tersisa.
Jikapun saya dibenci dan dimaki, saya sudah ikhlas dengan semua itu, sudah dua puluh empat tahun saya bertugas dan bekerja sebagai pegawai negeri dalam rumah birokrasi, tidak waktunya lagi saya mencari eksistensi atau mengaruk kepentingan pribadi, saya bekerja setiap hari melaksanakan kewajiban saya dan mencoba memberikan yang terbaik dimanapun saya berada, Alhamdulllah sampai saat ini saya masih dipercaya oleh pimpinan dimanapun berada.
Saya pun sadar dan mahfum sepenuhnya, pasti ada pikiran saya yang keliru, pikiran saya tidak berdasar, argumentasi yang lemah, data yang kurang akurat, namun disitulah kita saling membangun dialektika untuk saling terbuka, saling mengisi, mengoreksi dan berintrospeksi mencari solusi dan formulasi terbaik sumbangsih untuk Ibu Pertiwi.
Tabbik...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H