Bertepatan dengan peringatan Hari Habitat Dunia (HHD) yang merupakan agenda rutin yang dilaksanakan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menetapkan HHD diselenggarakan pada minggu pertama bulan Oktober setiap tahun. Negara Indonesia Sendiri peringatan HHD akan dilaksanakan pada tanggal 5 Oktober 2015 yang digawangi oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR) dengan tema “Public Spaces for All” atau bahasa Indonesianya“Ruang Publik Kota untuk Semua.”
Peringatan HHD di Indonesia tahun ini menjadi menarik karena salah satu kegiatannya mengajak masyarakat umum untuk terlibat aktif menyuarakan HHD lewat tulisan yang disalurkan melalui kompasiana.com.
Dalam kesempatan ini, saya tergelitik untuk mengajak pembaca dan pemerhati masalah kota untuk sejenak melihat kondisi ruang publik di Ibu Kota Jakarta etalase negara Indonesia. Tepatnya diseputaran Senayan, Jakarta Pusat. Karena jika saya teropong dan dituangkan fenomena ruang publik dalam tulisan diseluruh sudut kota Jakarta, kiranya akan melahirkan berkodi tumpukan kertas yang berisi karutnya ruang publik ibu kota negara kita tercinta.
Bila menyebut nama Senayan, rasanya masyarakat Indonesia tidak asing lagi dengan kata ini, walaupun belum pernah ke Jakarta paling tidak kalau ada kata Senayan-nya, orang akan langsung ingat dan membayangi gedung parlemen yang berdiri megah, TVRI dan Gelora Bung Karno, karena tiga bangunan ini menjadi menara simbol kebesaran kemajuan Indonesia sejak merdeka.
Diseputaran Senayan sebenarnya terhampar begitu luas tanah negara yang bisa dijadikan ruang-ruang publik yang bisa dinikmati oleh warga untuk menikmati jernihnya udara kota, berolahraga, bercengkerama atau sekedar melepas kepenatan dari hiruk pikuknya Ibu Kota. Seperti komplek Gelora Bung Karno, komplek Hotel The Sultan, komplek Gedung MPR/DPR/DPD RI, Komplek Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Komplek Kementerian Pemuda dan Olah Raga, Komplek TVRI, Komplek Gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan tanah bekas Taman Ria Senayan yang disampingnya terdampar begitu eloknya sebuah danau mini yang sedap untuk bermeditasi.
(Gambar 2 : Peta disekitar kawasan Senayan, Sumber :Google Maps)
Tapi apa nyana, sekitaran komplek Gelora Bung Karno yang begitu teduh dan penuh dengan pepohonan dibatasi dengan pagar yang tinggi, seolah-olah warga menjadi tamu diruang publiknya sendiri, jika membawa kendaraan ke dalam komplek Gelora Bung Karno wargapun harus ikhlas untuk membayar yang dihitung perjamnya, belum lagi harus membayar pungutan tukang parkir liar yang ada didalam komplek. Bahkan untuk siswa sekolahpun dipungut bayaran untuk memanfaatkan sarana olahraga yang ada. Sengkarutnya ruang publik disekitar Komplek Gelora Bung Karno, bukan hanya didalam komplek saja, diluarnyapun juga sama, seperti trotoar yang seharusnya untuk fasilitas dan kenyamanan para pejalan kaki, sudah diokupasi oleh penjual tanaman bunga, dan pot-pot yang bergelantungan sepanjang trotoar.
Memang pada setiap hari libur Komplek Gelora Bung Karno ini penuh disesaki warga untuk berolahraga terutama untuk lari pagi, tetapi hanya baru sebatas itu dimanfaatkan warga, luasnya komplek ini belum terpikirkan oleh pemerintah untuk menjadikannya ruang publik berupa taman-taman dan ruang-ruang kreatif warga yang bisa disinggahi dan dimanfaatkan oleh warga kapanpun, apalagi menjadikan komplek ini sebagai areal terbuka dan menyatu dengan kehidupan warga nan humanis, tanpa pagar pembatas yang seakan-akan ada jarak dan kesan ketidakpercayaan antara kota dan penghuninya, dan bak meninggalkan sebuah kesan ekslusif dalam kerangkengnya sendiri.
(Gambar 4 : Trotoar sepanjang Komplek Gelora Bung Karno telah diokupasi oleh penjual tanaman dan pot bunga, Foto.Empi M)
Nun tak jauh dari komplek Gelora Bung Karno, persis disampingnya, tengoklah keberadaan komplek Hotel The Sultan yang tanahnya saat ini sudah 100 persen milik negara, setelah puluhan tahun diperah oleh swasta dan pribadi. Jangankan untuk dijadikan ruang publik, masuk areal inipun kita bak masuk istana pribadi sang raja minyak.
Setali tiga uang dengan kondisi Gelora Bung Karno, disekitar wilayah senayan seperti Komplek Gedung MPR/DPR/DPD RI, juga dibatasi dengan pagar pembatas yang tinggi, sungguhpun didalamnya terbentang taman nan asri ditumbuhi pohon-pohon nan rindang. Padahal jika komplek parlemen ini dikelola dengan baik, menjadikan warga sebagai pemilik kota, banyak lahan-lahan kosong yang ada didalamnya yang dapat dimanfaatkan oleh warga untuk ruang publik. Tentunya tanpa harus menghilangkan sejarah, keberadaan dan kemarwahan komplek gedung ini. Tanpa mengurangi kenyamanan dan keamanan segenap wakil rakyat, pejabat atau karyawan yang bekerja diseputaran gedung tersebut.
(Gambar 5 : Kokoh dan tingginya pagar parlemen kita, Foto.Empi M)
Saya sering melamun hampa, andai saja kebun rusa, taman yang luas dan danau nan teduh yang ada disamping komplek parlemen dapat dinikmati warga, betapa indahnya jalinan batin gedung rakyat ini dengan rakyatnya. Bahkan akan bisa menjadi jalinan empati dan rasa memiliki antara rakyat badarai dengan wakil-wakilnya.
(Gambar 6 : Andai saja Kebun Rusa dan rindangya ruang publik dikomplek parlemen RI dapat dinikmati warga, Foto.Empi M)
Begitupun areal yang berada di komplek Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Komplek Kementerian Pemuda dan Olah Raga, Komplek TVRI dan Komplek Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebenarnya banyak ruang dan fasilitas negara yang bisa dinikmati oleh warga, sebut saja tamannya yang luas, pohonnya yang rindang, lengkapnya sarana olahraga seperti lapangan tenis, bulutangkis, basket, futsal, kolam renang dan sebagainya, tetapi karena komplek gedung ini diberi pembatas berupa pagar dan barisan para satpam, bahkan masuk komplek Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup-pun warga yang membawa kendaraan harus membayar karcis. Bagaimana warga bisa merasa nyaman, tenang, dapat menikmati serta mempunyai rasa memiliki dengan ruang publik yang dibangun dari pajak warga tersebut ?
(Gambar 7 : Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup yang rindang dan asri, Foto.Empi M)
Kadang serasa aneh jika menyebut nomenklatur Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, bukankah tugas kementerian ini yang salah satunya memberikan edukasi dan fasilitasi akan arti pentingnya kelestarian lingkungan hidup ? Tentu lingkungan hidup yang sebenarnya, lingkungan yang ramah, asri dan bisa dinikmati oleh warga, bukan hanya sebatas papan pengumuman dan label institusi yang menterang.
Disamping komplek gedung pemerintah yang luas dan asri tersebut, disebelahnya juga terbentang luas tanah yang sangat rancak sekali jika dijadikan ruang publik yakni tanah Taman Ria Senayan. Saya sering bergumam dalam hati sambil mengomel kesal, jika melewati tanah Taman Ria Senayan yang begitu luasnya dibiarkan kosong melompong, yang luasnya bisa sepuluh kali lipat dari Taman Suropati Menteng yang sampai sekarang belum ada yang menggantikan secarik oase akan keteduhan ruang publiknya bagi warga ditengah kota Jakarta. Areal bekas Mal Taman Ria Senayan ini, entah sudah berapa tahun ditutupi papan pagar pembatas yang penuh coret moret grafiti dari tangan-tangan anak bangsa yang mungkin keki melihatnya.
(Gambar 9 : Tanah Taman Ria Senayan yang ditutup oleh pagar papan yang tinggi, Foto.Empi.M)
Walaupun status tanah ini masih dalam selang sengketa, namun selayaknya pemerintah jika menyangkut untuk kepentingan umum, harus tegas dan cepat menyelesaikan silang sengkarut yang entah kapan ada solusinya ini. Jika Bapak Jokowi semasa menjadi Gubernur DKI Jakarta bisa menyelesaikan kumuh dan kumalnya Waduk Pluit, mampu memindahkan sekian ribu penghuninya dan sekarang menjadi arena ruang publik yang diapresiasi warga. Begitupun Ahok yang baru-baru ini bisa memindahkan warga yang tinggal dibentaran Sungai Ciliwung di Kampung Pulo ke Rumah Susun walau penuh pro dan kontra. Harusnya Bapak Jokowi yang saat ini telah menjadi Presiden dan Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta, bukankah sewajarnya bisa lebih mudah dan cepat menyelesaikan tanah Taman Ria Senayan ini, apalagi status tanah ini berada dalam pengelolaan Sekretariat Negara dan sengketanyapun hanya dengan satu pihak dan segelintir orang saja.
(Gambar 10 : Luasnya Tanah Taman Ria Senayan yang dibiarkan kosong bertahun-tahun, Foto.Empi.M)
Entah sampai kapan, kita dimanjakan untuk melihat papan-papan penutup batas tanah ini menambah alergi mata menatap wajah Ibukota. Tidakkah terpikirkan atau terketuk hati Pemerintah Pusat atau Pemda DKI Jakarta, untuk menjadikan lahan Taman Ria Senayan tersebut sebagai ruang publik yang nyaman bagi warganya ?, seperti dijadikan taman-taman yang indah, yang ditumbuhi pohon-pohon rindang, mekarnya bunga yang dihinggapi kupu-kupu, muncratan air mancur dan kicauan burung yang bersenda gurau sambil mengintari kilauan air danau yang ada disebelahnya. Menyaksikan para seniman dan budayawan menggesek dawai biola, memetik gitar dan mengail inspirasi serta menampilkan karyanya untuk Ibu Pertiwi, menyaksikan pemuda-pemudi berlatih orasi untuk membangun bangsa ini, menyaksikan kakek-nenek jalan bergandengan tangan dengan wajah yang sumringah, menyaksikan anak-anak berlarian dan bercengkrama ria sambil menghirup jernihnya udara dan teduhnya pohon di ruang publik nan terbuka. Oh... ruang publik sungguh indah untuk dibayangi...
Keadaan ruang publik yang ada dan cukup luas dikelola oleh pemerintah saja keadaannya seperti ini, apalagi yang bisa kita harapkan lebih banyak, akan adanya ruang-ruang publik terbuka yang bebas dan lepas dinikmati warga secara gratis dibangun oleh pemerintah ? Entahlah....
*) Keterangan Gambar Utama: (Hijaunya areal senayan dilihat dari Komplek Parlemen RI, Foto.Empi.M)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H