Mohon tunggu...
Empi Muslion
Empi Muslion Mohon Tunggu... Administrasi - pengembara berhenti dimana tiba

Alang Babega... sahaya yang selalu belajar dan mencoba merangkai kata... bisa dihubungi : empimuslion_jb@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ruang Publik Seputaran Senayan dalam Keangkuhan Tanah Negara

28 September 2015   12:34 Diperbarui: 28 September 2015   13:36 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bertepatan dengan peringatan Hari Habitat Dunia (HHD) yang merupakan agenda rutin yang dilaksanakan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menetapkan HHD diselenggarakan pada minggu pertama bulan Oktober setiap tahun. Negara Indonesia Sendiri peringatan HHD akan dilaksanakan pada tanggal 5 Oktober 2015 yang digawangi oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR) dengan tema “Public Spaces for All” atau bahasa Indonesianya“Ruang Publik Kota untuk Semua.”

Peringatan HHD di Indonesia tahun ini menjadi menarik karena salah satu kegiatannya mengajak masyarakat umum untuk terlibat aktif menyuarakan HHD lewat tulisan yang disalurkan melalui kompasiana.com.

Dalam kesempatan ini, saya tergelitik untuk mengajak pembaca dan pemerhati masalah kota untuk sejenak melihat kondisi ruang publik di Ibu Kota Jakarta etalase negara Indonesia. Tepatnya diseputaran Senayan, Jakarta Pusat. Karena jika saya teropong dan dituangkan fenomena ruang publik dalam tulisan diseluruh sudut kota Jakarta, kiranya akan melahirkan berkodi tumpukan kertas yang berisi karutnya ruang publik ibu kota negara kita tercinta.

Bila menyebut nama Senayan, rasanya masyarakat Indonesia tidak asing lagi dengan kata ini, walaupun belum pernah ke Jakarta paling tidak kalau ada kata Senayan-nya, orang akan langsung ingat dan membayangi gedung parlemen yang berdiri megah, TVRI dan Gelora Bung Karno, karena tiga bangunan ini menjadi menara simbol kebesaran kemajuan Indonesia sejak merdeka.

Diseputaran Senayan sebenarnya terhampar begitu luas tanah negara yang bisa dijadikan ruang-ruang publik yang bisa dinikmati oleh warga untuk menikmati jernihnya udara kota, berolahraga, bercengkerama atau sekedar melepas kepenatan dari hiruk pikuknya Ibu Kota. Seperti komplek Gelora Bung Karno, komplek Hotel The Sultan, komplek Gedung MPR/DPR/DPD RI, Komplek Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Komplek Kementerian Pemuda dan Olah Raga, Komplek TVRI, Komplek Gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan tanah bekas Taman Ria Senayan yang disampingnya terdampar begitu eloknya sebuah danau mini yang sedap untuk bermeditasi.

(Gambar 2 : Peta disekitar kawasan Senayan, Sumber :Google Maps)

(Gambar 3 : Ruang Publik antara Komplek Gelora Bung Karno dan tanah bekas Taman Ria yang dipagar tinggi, Foto.Empi.M)

Tapi apa nyana, sekitaran komplek Gelora Bung Karno yang begitu teduh dan penuh dengan pepohonan dibatasi dengan pagar yang tinggi, seolah-olah warga menjadi tamu diruang publiknya sendiri, jika membawa kendaraan ke dalam komplek Gelora Bung Karno wargapun harus ikhlas untuk membayar yang dihitung perjamnya, belum lagi harus membayar pungutan tukang parkir liar yang ada didalam komplek. Bahkan untuk siswa sekolahpun dipungut bayaran untuk memanfaatkan sarana olahraga yang ada. Sengkarutnya ruang publik disekitar Komplek Gelora Bung Karno, bukan hanya didalam komplek saja, diluarnyapun juga sama, seperti trotoar yang seharusnya untuk fasilitas dan kenyamanan para pejalan kaki, sudah diokupasi oleh penjual tanaman bunga, dan pot-pot yang bergelantungan sepanjang trotoar. 

Memang pada setiap hari libur Komplek Gelora Bung Karno ini penuh disesaki warga untuk berolahraga terutama untuk lari pagi, tetapi hanya baru sebatas itu dimanfaatkan warga, luasnya komplek ini belum terpikirkan oleh pemerintah untuk menjadikannya ruang publik berupa taman-taman dan ruang-ruang kreatif warga yang bisa disinggahi dan dimanfaatkan oleh warga kapanpun, apalagi menjadikan komplek ini sebagai areal terbuka dan menyatu dengan kehidupan warga nan humanis, tanpa pagar pembatas yang seakan-akan ada jarak dan kesan ketidakpercayaan antara kota dan penghuninya, dan bak meninggalkan sebuah kesan ekslusif dalam kerangkengnya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun