Mohon tunggu...
Supriyatna
Supriyatna Mohon Tunggu... Penulis - Emosi diujung pena

Menjadi bijak bukan dengan cara mengkritik atau Menasehati Orang lain, Menjadi Bijak berani memberi Solusi bagi permasalahan Orang Lain. " Karena Nasehat bukanlah Solusi, Jadi jangan memberi Solusi dengan cara memberi Banyak Nasehat"

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Wangsit Pangeran dari Petilasan

21 Juni 2021   21:30 Diperbarui: 21 Juni 2021   22:15 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

WANGSIT PANGERAN
               DARI PETILASAN

Petak pasuruan menjadi tanah
amber di kidul bagaikan lethek
kala langgar bagaikan pemukiman
si anak tanah diperut pijakan

Awan bertindih-tindih di angkasa
mengalir dari celah sumber kehidupan
kala wong edan berebut singgasana
malapetaka tanda jawabannya

Si kenya kelam kian menggila
sibuk mempertontonkan perhiasannya
lekukan kain pembatas kaki
terkatung-katung membuka jendela

Aduh Celaka para ksatria
berburu tahta...
enggan mengurus si anak domba
rupanya geram rakus serakah

Di pojokan gubuk tak dikenali
si lare angon mencoba memperingati
bukan mengangon si susu perah
atau si badan bingkisan beduk

tengok sekarang kilasan wayang
para cendekia tertelan peradaban
ribuan kepala tak ada pegangan
penyimpan ilmu hilang satu-satu

pindah pandangan di pelupuk mata
pohon kurma mulai gelisah
jauh disebrang belahan suku berjubahhilang akar tak jua berbuah

lidah api tepat di lingkaran
samping singgasana panas perapian
terendam hingga menyentuh piringan
bersiap-siap cari akar menjulang

lewat masa tujuh padi mengering
diatas permukaan tampah menguning
kini tersisa masa bagai lautan
jeritan sudah tiada dihiraukan

Di petilasan yang kian terasingkan
banyak kepala yang jua tak hirau
jelas disampaikan sedikit penerangan
bagi kepala yang mau bermata jeli

belum lagi si anak tumpeng di kulon
menghitung matahari berganti bulan
lain lagi buih di sebrang lor
bersatu bertabrakan ambyar
berantakan...

Aduh gusti kiranya semua jeli
walau aksara sulit dipelajari
tapi apa daya sudah terikat janji
keraton dan ratu tidak lagi perduli
sukar ditembus pandangan si awam
adhayangan terus mengawasi
di samping kiri paduka menemani
cukup siloka saja jadi ingatan

Lambat laun garuda dibelah
kala bocah kali tak lagi berani mandi
rambut keriting kulitnya hitam
di ujung sebrang ambil ancang-ancang

miris rasa tak di pandang
masak sagu dianggaplah cukup
berbondong-bondong mulai amarah
susun acara cikal bakal berpisah

para pendekar tak lagi bersilat
tak guna ilmu dari kanuragan
nyatanya salah sebagian memandang
nyata nanti kembali ke kerajaan

masa batu sudahlah dibalikan
menanti kala perunggu peranan
balik dirham bukan kertasan
ada yang bolong jadi pembayaran

Banyak gubuk disamping alang-alang
banyak murid dari padjadjaran
belum lagi dari himpunan demak
tiba masa perang kerajaan

tak berlaku senapan dan lampu
pegang obor khunuskan keris lagi
serunting sakti kembali kepermukaan
hati-hati masa pendekar kembali

Jeli melihat simbol aksara kini
bukan sansekerta namun
sedikit sukar
tajam telinga jeli penglihatan
mengerti jika banyak dicermati

sajak petang bukan sembarangan
tuan...
banyak rahasia dari alam berlainan
para leluhur sudahlah kokoh
menunjuk perwakilan sebuah sandi

bangun pagi lalu perhatikan
agar dapat cahaya penerangan
jika bersungguh pastilah didapati
satu isyarat tentang sebuah tragedi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun