WANGSIT PANGERAN
        DARI PETILASAN
Petak pasuruan menjadi tanah
amber di kidul bagaikan lethek
kala langgar bagaikan pemukiman
si anak tanah diperut pijakan
Awan bertindih-tindih di angkasa
mengalir dari celah sumber kehidupan
kala wong edan berebut singgasana
malapetaka tanda jawabannya
Si kenya kelam kian menggila
sibuk mempertontonkan perhiasannya
lekukan kain pembatas kaki
terkatung-katung membuka jendela
Aduh Celaka para ksatria
berburu tahta...
enggan mengurus si anak domba
rupanya geram rakus serakah
Di pojokan gubuk tak dikenali
si lare angon mencoba memperingati
bukan mengangon si susu perah
atau si badan bingkisan beduk
tengok sekarang kilasan wayang
para cendekia tertelan peradaban
ribuan kepala tak ada pegangan
penyimpan ilmu hilang satu-satu
pindah pandangan di pelupuk mata
pohon kurma mulai gelisah
jauh disebrang belahan suku berjubahhilang akar tak jua berbuah
lidah api tepat di lingkaran
samping singgasana panas perapian
terendam hingga menyentuh piringan
bersiap-siap cari akar menjulang
lewat masa tujuh padi mengering
diatas permukaan tampah menguning
kini tersisa masa bagai lautan
jeritan sudah tiada dihiraukan
Di petilasan yang kian terasingkan
banyak kepala yang jua tak hirau
jelas disampaikan sedikit penerangan
bagi kepala yang mau bermata jeli
belum lagi si anak tumpeng di kulon
menghitung matahari berganti bulan
lain lagi buih di sebrang lor
bersatu bertabrakan ambyar
berantakan...
Aduh gusti kiranya semua jeli
walau aksara sulit dipelajari
tapi apa daya sudah terikat janji
keraton dan ratu tidak lagi perduli
sukar ditembus pandangan si awam
adhayangan terus mengawasi
di samping kiri paduka menemani
cukup siloka saja jadi ingatan
Lambat laun garuda dibelah
kala bocah kali tak lagi berani mandi
rambut keriting kulitnya hitam
di ujung sebrang ambil ancang-ancang
miris rasa tak di pandang
masak sagu dianggaplah cukup
berbondong-bondong mulai amarah
susun acara cikal bakal berpisah
para pendekar tak lagi bersilat
tak guna ilmu dari kanuragan
nyatanya salah sebagian memandang
nyata nanti kembali ke kerajaan
masa batu sudahlah dibalikan
menanti kala perunggu peranan
balik dirham bukan kertasan
ada yang bolong jadi pembayaran
Banyak gubuk disamping alang-alang
banyak murid dari padjadjaran
belum lagi dari himpunan demak
tiba masa perang kerajaan
tak berlaku senapan dan lampu
pegang obor khunuskan keris lagi
serunting sakti kembali kepermukaan
hati-hati masa pendekar kembali
Jeli melihat simbol aksara kini
bukan sansekerta namun
sedikit sukar
tajam telinga jeli penglihatan
mengerti jika banyak dicermati
sajak petang bukan sembarangan
tuan...
banyak rahasia dari alam berlainan
para leluhur sudahlah kokoh
menunjuk perwakilan sebuah sandi
bangun pagi lalu perhatikan
agar dapat cahaya penerangan
jika bersungguh pastilah didapati
satu isyarat tentang sebuah tragedi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H