Seperti saya singgung di atas, saya dan almarhum, nyaris tidak bisa mengeja maupun menulis huruf-huruf hijaiyah (huruf Arab, Qur'an), tidak bisa mengaji hingga tamat SMA. Itulah salah satu alasan mengapa saya enggan mendaftar ulang meski sudah dinyatakan lulus di Tadris IPA Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin Makassar (waktu itu). Sementara almarhum "terpaksa" mendaftar ulang, karena tidak ada pilihan lain, daripada kuliah di swasta (PTS). Soalnya bila dilihat secara finansial, kalau memaksakan diri untuk kuliah di PTS, akan terasa sangat sulit dan berat.
Dengan demikian, tidak ada pilihan lain bagi almarhum, harus dapat mengejar ketertinggalannya dalam hal membaca, mengeja dan menulis huruf Arab (mengaji). Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi almarhum. Mengingat pada waktu itu, dalam pandangan umum masyarakat Lamakera, menjadi sesuatu yang "aneh", bila ada anak Lamakera yang kuliah di Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI), tapi malah tidak bisa baca dan tulis Qur'an.Â
Karena itu, almarhum berusaha keras untuk dapat mengaji (membaca Qur'an). Dengan dibimbing oleh salah seorang kakak senior mahasiswa IAIN (dari Lamakera), saban malam harus belajar mengaji (membaca Qur'an), akhirnya, alhamdulillah, usaha tidak mengkhianati hasil. Almarhum berhasil membaca Qur'an hingga kemudian lulus dari Tadris Matemtika Tarbiyah IAIN Alauddin Makassar, tahun 1995. Sedangkan saya, terdorong oleh semangat almarhum, saya pun berusaha secara otodidak belajar mengaji sendiri, sampai kemudian berhasil membaca Qur'an, dengan makhraj dan tajwid yang lumayan baik (menurut saya,hehehe).Â
Bahkan berkat berguru secara otodidak, almarhum juga dapat berdiri di atas mimbar untuk menyampaikan ceramah agama. Belakangan profesi sebagai penceramah itu diperkuat oleh pekerjaannya sebagai guru di sekolah madrasah, bahkan sempat menduduki posisi puncak, yakni menjadi Kepala Sekolah, selama lebih kurang 7 tahun. Terakhir almarhum sebelum meninggal menjadi Pengawas Sekolah/Madrasah di Kementerian Agama Flores Timur.
EpilogÂ
Masih banyak cerita lain mengenai kedekatan saya dan almarhum, tapi tidak cukup untuk dapat diurai. Bukan saja kedekatan secara genealogis, kekerabatan, sebagai saudara sepupu, tapi lebih dari itu.Â
Selama menempuh pendidikan 6 tahun di Waiwerang (3 tahun di SMPN Lamahala dan 3 Tahun di SMA Suryamandala) dan 1 tahun di SMA Yastema Ujung Pandang, bukan saja satu almamater, yang setiap hari harus berbarengan berangkat dan pulang sekolah, tapi dalam keseharian juga bersama-sama, sampai tidur pun menggunakan satu tikar dan bantal yang sama. Maka kalau boleh saya mengatakan bahwa kedekatan ikatan emosional antara saya dengan almarhum seperti dua sisi mata uang. Apalagi antara almarhum dan saya merupakan saudara sepupu (ayah almarhum dan ibu saya merupakan saudara kandung).
Sejak dari SD sampai dengan SMA selalu bersama satu almamater, dan selalu berangkat dan pulang bersama sekolah. Hanya pada masa kuliah, kami terpaksa "berselisih" jalan, karena berbeda tempat kuliah (perguruan tinggi), alamarhum kuliah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN, sekarang Universitas Islam Negeri, UIN) Alauddin Makassar, sementara saya kuliah di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP Ujung Pandang, sekarang Universitas Negeri Makassar, UNM), banyak jalinan cerita yang terbentuk.
Tanpa harus menafikkan peran dan kontribusi yang lain, selama kebersamaan kami, almarhum telah memberikan dan menanamkan "saham" yang sangat besar dalam perjalanan hidup dan karier saya.Â
Atas dukungan moril yang luar biasa, sehingga saya, meski mendapat kesempatan emas diangkat menjadi PNS di Kemenag NTT (Kanwil Depag NTT) tahun 1996, saya abaikan, karena lebih memilih untuk kembali ke Ujung Pandang (Makassar). Sehingga nyaris selama lebih kurang 7 tahun, saya harus berjuang ekstra keras untuk dapat bertahan, sampai pada tahun 2002, atas doa dan dukungan semua keluarga dan kerabat, saya bisa mewujudkan "obsesi" menjadi pegawai pemerintah di UPT. Kemdikbud.
Tak terbantahkan bahwa saya dan almarhum begitu dekat. Tidak hanya secara fisik tapi juga emosional. Selama 3 tahun di SMP, hampir setiap hari kami bersama-sama, beriring sejalan, pergi dan pulang sekolah berbarengan. Dan kondisi ini terus berlanjut hingga masuk ke jenjang SMA, baik di Waiwerang (selama 3 tahun) maupun setelah pindah ke Makassar (dulu Ujung Pandang) selama 7 tahun, hingga kemudian karena alasan tugas profesional sehingga kami harus "berpisah".