Kita mampu menjabarkan makna agama dari sisi teori, tapi sayang bila dikomparasikan dan disinkronkan dalam praktek aktual di lapangan, sungguh terlihat sangat nyata kesenjangan (gap) itu. Terjadi anomali antara pengetahuan teoritis dan aplikasi pada tataran praktikal-empiris. Antara teori dan praktek terdapat jurang, dan kadang hal itu sengaja diciptakan, malah dibiarkan terjadi. Â
Kenaifan ini hendaknya tidak perlu lagi dipertahankan dan dilanjutkan jika ingin peradaban baru itu benar-benar mempunyai nilai martabat. Karena bagi saya apalah artinya sebuah peradaban yang dibangun di atas landasan yang rapuh (tanpa keadaban)?
Lamakera Dulu  Â
Sebagai gambaran saya ingin menyampaikan sebuah cerita, sebuah contoh kasus, tentang proses perkembangan Lamakera sejak politik belah bambu ala Orba. Pada tahun 1992 HIPPMAL mengadakan kegiatan Titian Muhibbah dengan mengadakan pementasan drama keliling di desa-desa dan kelurahan yang berbasis mayoritas warga muslim di Flores Timur. Pada suatu ketika pementasan itu dilakukan di Larantuka, dengan mengambil home base (sekretariat sementara) di Rumah Aba H. Abd. Syukur Alwan, yang kebetulan pada saat itu sebagai anggota DPRD Fraksi Golkar di tingkat Kab. Flores Timur.
Pada suatu malam di home base, Aba H. Abd. Syukur Alwan bercerita tentang jembatan gantung yang menghubungkan kali antara rumah Aba Ghafur ID dengan jalan menuju ke laliduli. Sambil bercerita, beliau bertanya, mengapa selama ini, kondisi jembatan penghubung itu tidak pernah mendapat perhatian pemerintah daerah? Satu pernyataannya yang sangat membekas dalam pikiran saya sampai hari ini, beliau mengatakan hal itu terkait faktor politik. Masyarakat Lamakera pada saat itu hanya mau menyalurkan aspirasi politiknya ke PPP sebagai representasi partai Islam, tidak mau memilih Golkar. Dan mereka tak berpaling dan tak pernah peduli dengan intimidasi dan dampak politik terhadap preferensi dan afiliasi politik mereka tersebut.
Saya tidak ingin memori dan sejarah yang tidak bersahabat dari politik belah bambu itu terulang dan dialami kembali oleh warga Lamakera. Kita harus bersyukur bahwa wajah Lamakera hari ini sudah sangat jauh berubah, berkat kontribusi luar biasa dari Kanda Dr. H. M. Ali Taher Parasong, dengan tanpa menafikkan keberadaan adinda, Ahmad Johan.
Cerita Aba H. Abd. Syukur Alwan itu sengaja saya ungkap kembali sebagai refleksi, sekaligus napak tilas untuk melihat Lamakera dalam horizon yang lebih luas. Itu juga sebagai pembelajaran pada generasi yang lahir pasca-Orba tumbang, sehingga tidak gagap sejarah.
Lamakera Hari Ini Â
Sepanjang saya tahu, baru dalam 1 (satu) dekade terakhir ini anak kandung Lamakera dapat berhasil menggapai kursi dewan yang terhormat di Senayan, apalagi langsung 2 (dua) orang. Ini merupakan prestasi sekaligus prestise yang luar biasa untuk ukuran sebuah komunitas setingkat desa (kampung), yang bernama Lamakera. Padahal beberapa dekade sebelumnya, apalagi selama rezim Orde Baru, tak sekalipun anak Lamakera dapat menjejakkan kaki di gedung Kura-Kura Senayan. Ada pernah sekali, diwakili Almukarram Alm. H. Abd. Syukur Ibrahim Dasy sebagai anggota MPR, tapi itupun dari jalur utusan daerah/golongan. Hal ini juga sebenarnya terkait dengan masalah preferensi dan afiliasi politik. Secara historis-tradisonal sejak dahulu Lamakera merupakan basis (konstituen) partai Islam, khususnya NU.