Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilpres dan Fantasi (Ke)Curang(an)

19 Februari 2020   14:35 Diperbarui: 19 Februari 2020   14:32 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah Satu Saksi Pasangan PS-SU (kumparan.com)

Sudah cukup lama saya tidak menulis artikel di blog keroyokan kompasiana.com. Meski banyak hal dan peristiwa menarik yang dapat menjadi sumber inspirasi untuk diangkat maupun diulas dalam sebuah tema artikel (tulisan). Meski demikian, semua itu, sengaja atau terpaksa saya lewatkan begitu saja, karena "suasana hati" dan pertimbangan-pertimbangan "moral" yang kurang mendukung. Tapi tiba-tiba setelah mendapat kiriman sebuah tautan yang dibagikan melalui grup WA (setelah sepintas saya lihat dan baca), mendorong saya untuk kembali ke "maqom" saya (back to basic), menulis.

Menuangkan ide dan mencoba merangkai puzel-puzel informasi dan atau fenomena (dari) sebuah peristiwa sosial maupun politik untuk membentuk sebuah mozaik yang indah. Tidak hanya sekedar merangkai kata membentuk kalimat, paragraf (alinea) menjadi sebuah alur informasi komprehensif, tapi juga punya alas rasional dari sisi akademik.

Maka hari ini, saya pun tersadar, dan mencoba "keluar," sekurang-kurangnya secara moral untuk bersedia mengorbankan sedikit dari banyak waktu yang berharga memberikan informasi pembanding ke masyarakat akar rumput sehingga tidak terus menerus menjadi obyek pembodohan kaum elit (baca: terpelajar). "Elit", dengan sikapnya yang elitis dan terus menerus menempatkan masyarakat akar rumput sebagai objek dan sekaligus konsumen pemamah informasi "sampah" yang telah sedemikian rupa dimanipulasi sesuai selera dan kepentingan. 

***

Sampai hari ini, masih ada saja yang ngelindur dan mengigau tidak karuan dan tak ada juntrungannya, mempersoalkan hasil Pilpres 2019. Bukan saja di grup-grup WA, tapi pada berbagai perbincangan terutama di dunia maya, masih saja ada yang terus menerus tenggelam dalam romantisme "pertarungan" Pilpres. Persoalan hasil Pilpres terus saja menjadi amunisi provokasi untuk menebarkan kebencian dan memelihara atmosfir permusuhan.

Padahal pesta sudah usai, para aktor juga sudah saling berpelukan. Masing-masing telah membagi tugas dan peran. Terus mengapa harus menyiksa diri, mengkhayal, berhalusinasi, mengigau, dan ngelindur untuk memberikan pembenaran (justifikasi) atas asumsi yang jauh-jauh hari telah dirancang? Kesengajaan yang dinarasikan untuk memanipulasi dan mengelabui pikiran awam hanya untuk memberikan stigma!

"Hanya kecurangan yang dapat mengalahkan, ...", adalah narasi yang dirancang dan dihembuskan untuk menggiring opini publik agar mau mempercayai sebuah asumsi. Sehingga rangkaian peristiwa dan kejadian berikutnya sudah bisa menjelaskan upaya-upaya justifikasi terhadap asumsi yang dikemas melalui narasi tersebut.  

***

Pertama, "ramalan" ala mimpi ustadz pop. Dalam hitungan hari menjelang hari H pemungutan suara, salah seorang kontestan kedatangan tamu istimewa, seorang ustadz pop yang lagi naik daun, dan sedang pada puncak ketenarannya. Lagi digandrungi para audiens (jamaah)-nya. Menurut si ustadz pop itu, dia telah mendapat "wangsit" melalui mimpinya, tak tanggung-tanggung sampai sebanyak 5 kali. Dalam mimpinya, menurut si ustadz, ia (telah) mendapat sinyal langsung bahwa jagonnya akan keluar sebagai pemenang kontestasi Pilpres 2019.

Mendengar celoteh ustadz ala dukun peramal, sang Capres pun terharu sambil menitikkan air mata. Sebab ia merasa tampuk kekuasaan sudah berada di pelupuk mata, sejengkal lagi dia akan menggapainya. Kursi singgasana akan menjadi miliknya.  Sehingga wajar jika fakta kemudian berkata lain, sang Capres pun uring-uringan, bertingkah seperti bocah yang kehilangan permen. Berbagai polah tingkah nyeleneh dipentaskan di ruang publik untuk memperlihatkan resistensi terhadap kenyataan yang berbeda dengan ekspektasinya.

"Wangsit" ala ustadz pop mengantarkan pada bentuk pembenaran kedua. Dengan bermodalkan data perhitungan suara internal (tim sukses) sang capres melakukan selebrasi kemenangan dengan sujud syukur berjilid-jilid. Pesan yang ingin disampaikan melalui selebrasi sujud syukur adalah agar para pendukung dan volounternya percaya bahwa mereka telah dengan sangat meyakinkan memenangkan pertarungan. Klaim sepihak untuk memberikan sugesti psikologis, cara jitu untuk mempertahankan semangat juang pendukung, dan bila perlu terus bertarung untuk mempertahankan "kemenangan semu".

Ketiga, mobilisasi massa untuk unjuk kekuatan. Ketika ritual keagamaan tidak lagi memberikan tuah, padahal itu merupakan simbol spiritualitas yang mencerminkan kesalehan personal seorang hamba, maka tidak ada jalan lain selain show of force (unjuk kekuatan). Maka tak heran di jalan-jalan protokol maupun lorong-lorong, baik di kota maupun kampun-kampung nun jauh di sana, dengan mudah kita temukan spanduk maupun baliho dengan ukuran bervariasi mengucapkan selamat kepada presiden baru. Padahal belum ada pengumuman resmi oleh penyelenggara Pemilu, dalam hal ini KPU. Ada upaya terstruktur untuk mencoba mempermainkan, bahkan malah memanipulasi emosi pendukung agar tetap berada pada barisan yang sama mempertahankan "kemenangan semu".

Keempat, unjuk rasa. Unjuk kekuatan tidak hanya menggunakan spanduk dan baliho, tapi juga dalam bentuk yang paling riil (nyata), yakni melakukan unjuk rasa. Massa dininakbobokkan dengan fantasi-fantasi semu tanpa mereka sadari, dan selanjutnya dimobilisasi untuk memberikan tekanan melalui unjuk rasa saban hari.

Kelima, parade kesaksian dan dagelan saksi di sidang MK. Tak mempan menempuh jalur parlemen jalanan, maka forum terhormat dan bergengsi harus dijabani. Mimbar MK adalah forum paling bergengsi dan benteng terakhir untuk menguji validitas hasil Pilpres, sekaligus menuntut keadilan. Maka berbagai bentuk sumber daya untuk memperkuat duagaan, tepatnya asumsi curang dimobilisasi, dan pda batas tertentu terkesan "direkayasa". Bukti dan saksi pun dihadirkan, kadang juga perlu ada kamuflase untuk menutupi bukti dan kesaksian sumir.

Sayang, meski sudah melalui proses yang panjang dan "berdarah-darah", ternyata bukti dan kesaksian saksi yang dihadirkan tidak cukup memberi  keyakinan dan mempengaruhi Majelis Hakim untuk memutuskan perkara yang berpihak kepada kelompoknya. Lah tahu sendiri, saksi yang dihadirkan, cenderung lucu, lugu dan culun, di samping bukti-bukti pendukung cenderung sumir dan absurd.

Maka wajar kemudian kesaksian mereka cenderung dipandang sebelah mata oleh para Majelis Hakim MK. Padahal semua sumber kekuatan sudah dikerahkan sebisa-bisanya (all out), termasuk melakukan presure dengan unjuk rasa saban hari selama persidangan berlangsung.  Keputusan MK ini pula kemudian dijadikan sebagai alasan untuk menjustifikasi dan memperkuat asumsi curang yang dinarasikan sejak awal. Bagi mereka, sebuah keputusan hakim tidak dikatakan curang jika memenangkan pihaknya, tanpa mau melihat seperti apa kualitas bukti, kesaksian dan para saksi.

Bahkan ketika pengumuman resmi KPU terjadi "kerusuhan" yang harus menelan korban jiwa. Sebuah potret buram dari dinamika dan proses demokrasi yang tidak pernah matang dan gagal menemukan bentuknya di negeri ini.

Kerusuhan itu lagi-lagi menjadi amunisi  dan sebuah alasan pembenar bahwa rezim telah dengan semena-mena mencoba membungkam suara rakyat untuk menutupi kecurangan. Sebuah asumsi yang sudah dengan sengaja dirancang di sejak awal, dan dibangun atas alas argumentasi yang lemah, tetapi juga bersifat simplistis-spekulatif.

***

Semua pembenaran terhadap narasi kecurangan yang dirancang, dikemas, dan telah ditebarkan itu, bertujuan untuk menggiring opini, memprovokasi, mengagitasi, dan manipulasi sentimen publik untuk memberikan stigma curang dan sekaligus meragukan hasil pesta demokrasi yang sudah berjalan. Mulai dari wangsit beraroma ramalan, selebrasi sujud syukur berjilid-jilid, dan mobilisasi massa untuk unjuk kekuatan (show of force) untuk memberikan tekanan (presure) langsung sebagai bentuk resistensi terhadap hasil yang tidak sesuai dengan harapan. Massa sengaja selalu datang pada setiap sidang Mahkamah Konstitusi (MK) juga sebagai salah satu media katalisator untuk mematangkan kondisi "rusuh yang disengaja". Konfrontasi terbuka juga sengaja difasilitasi untuk mempercepat meningkatkan suhu dan  atmosfir politik.

Rusuh yang dikondisikan, mengingat unjuk rasa menolak hasil Pilpres melewati batas waktu menurut ketentuan. Maka tidaklah berlebihan jika kemudian aparat keamanan harus bersikap tegas, setelah sebelumnya telah melakukan upaya-upaya persuasif, tapi hasilnya malah mendapat serangan balik (counter attack). Jika kemudian aparat keamanan harus mempertahankan diri dan melakukan tindakan tegas yang dengan terpaksa membawa dampak negatif, tidak serta merta harus memberikan labeling (stigma) mendukung salah satu kontestan.

***

Narasi-narasi penolakan terhadap hasil Pilpres berfokus pada satu asumsi dasar, pemilu curang, maka hasilnya pun harus ditolak.  Dan semua itu sengaja diformulasi dan dimobilisasi sedemikian rupa untuk mengkondisikan emosi massa konstituen. Sehingga ketika fakta memberikan indikasi yang berbeda bahkan mungkin berlawanan, maka sudah ada ruang berkelit untuk memberikan pembenaran (justifikasi) atas klaim sebagai jalan rasionalisasi terhadap fakta yang tidak sesuai dengan ekspektasi dan ramalan ustadz pop.

Celakanya peristiwa yang belakangan muncul sebagai dampak atau akibat tidak langsung dari prosesi panjang nan melelahkan yang telah dijalani, diramu dalam sebuah frame yang seolah "menakjubkan". Semua rangkai peristiwa itu sengaja dirangkum dalam satu pigura yang diberi aksesori bumbu sensasi bombastis yang menarik untuk menemukan benang merah, bahwa telah terjadi sesuatu yang melanggar azas demokrasi. Semua itu dilakukan hanya untuk membenarkan dan mencari pembenaran atas asumsi, bahkan tuduhan prematur yang telah didesain sejak awal sebagai penawar angin surga bagi massa pendukung.

***

Pilpres sudah usai! Masing-masing pihak (baca: kontestan) sudah mengulurkan tangan! Saling berjabat, duduk berdampingan, dan memberikan ucapan selamat. Di sana sudah tidak ada lagi sekat, jarak, maupun kepongahan (arogansi) yang memisahkan. Semuanya sudah duduk bersanding, mendekatkan hati, menyatukan ide, berikrar bersama, dalam satu komitmen, memajukan Indonesia Raya.

Terus mengapa masih ada saja berpikiran picik dan dengan sengaja pula mencoba melakukan simplifikasi-spekulatif secara dangkal hanya untuk memelihara atmosfir permusuhan? Apa keuntungan yang ditangguk dengan merasionalisasi kepicikan itu dengan justifikasi yang cenderung absurd?

Pilpres telah usai, pemenang pun telah didapuk! Kompetitor pun telah dirangkul dan diberi tempat dan (malah) didudukkan pada kursi kehormatan. Mereka bersepakat untuk bersatu dalam warna perbedaan yang saling melengkapi. Semestinya dari keharmonisan mengatur ritme dan irama itu, kita bisa memetik pelajaran, bahwa perbedaan itu tidak selamanya harus saling menghancurkan.

Lepas dari kontroversi dan polemik pro kontra hasil Pilpres yang lebih banyak dibalut "kepalsuan", mengapa kita tidak mencurahkan sebagian waktu kita yang berharga untuk melakukan hal-hal yang lebih produktif dan konstruktif bagi pembangunan dan kemajuan bangsa ini? Menebarkan kesejukan, menyemai kedamaian!

Mengulurkan tangan untuk berbagi aura positif, daripada berlindung di balik jubah kebesaran sebagai intelektual tapi suka melakukan kamuflase. Berkutak dengan hal-hal yang cenderung muspra, kasak kusuk mencari-cari celah untuk memberikan justifikasi atas asumsi prematur, dan tentu saja dari sisi waktu, sudah kadaluarsa (expire), hanya karena romantisme berlebihan berharap dapat melihat jagoan duduk di tampuk kekuasaan? 

***

Pilpres sudah rampung dan memenuhi unsur legitimate. Semua instrumen dan perangkat yang dimungkinkan menurut undang-undang untuk menguji hasil sudah dilakukan. Semua mekanisme politik  dan prosedur hukum telah ditempuh untuk mengukur (menguji) sejauh mana validitas hasil dari proses kontestasi, dan hal itu telah melalui proses secara terbuka dan transparan. Dari proses itu, tak ada satupun instrumen itu memberikan indikasi kuat untuk membenarkan, tepatnya membuktikan asumsi prematur yang telah dirancang (desain). Maka, lalu "kecurangan" mana lagi yang masih (perlu) kamu persoalkan?

Semua telah dibuka dan disaksikan seluruh mata rakyat! Terus mengapa pula masih saja tenggelam dalam asumsi ngawur menuduh dengan bukti sumir? Semua boleh-boleh saja menduga, membuat hipotesa, bahkan berkesimpulan sesuai keyakinan subyektif atas dasar asumsi manipulatif. Tapi bukan karena keberhakkan itu, kemudian mencoba membangun opini dengan narasi-narasi simplistis-spekulatif untuk memanipulasi kesadaran publik. Karena pada dasarnya masyarakat akar rumput mempunyai hak yang sama untuk mendapat pendidikan politik yang benar dan bertanggung jawab. Bukan dibangun dari alas sentimen primordial yang cenderung naif.  

Nah, jika sudah demikian masih saja melempar "tuduhan sumir", itu namanya HALUUUU  mbambaaaaaaaaaang!!!

Wallahu a'lam bish-shawabi

Makassar, 19/02/2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun