Oleh : eN-Te
Prolog
Tersebutlah di negeri ini, ketika ada yang berbau melawan arus (anti-mainstream) maka akan segera memantik gaduh. Terjadi polarisasi terhadap sebuah kebijakan yang dianggap "aneh". Ada yang pro, banyak pula yang kontra. Masing-masing punya argumentasi sendiri-sendiri.
Kelompok kontra setelah sebuah kebijakan itu ditetapkan sesegera itu pula memberikan reaksi negatif sebagai bentuk resistensi. Tapi tak sedikit pula yang memberikan respon positif sebagai perwujudan persetujuan.
Begitu pula dengan penunjukkan seseorang untuk menempati sebuah posisi tertentu. Apalagi posisi itu selama ini menurut tradisi hanya boleh diisi oleh orang-orang yang secara kultural konservatif sudah mengerti dan memahami betul secara luar dalam dari job description  (tugas pokok dan fungsi). Maka akan menjadi hal yang dianggap tabuh dan "melanggar" kepatutan jika tradisi yang sudah mapan itu kemudian secara paksa harus direformasi.
Loyalitas Berimbas Reward?Â
Rumor tentang calon menteri berusia muda untuk pertama kali disampaikan oleh Presiden Jokowi sesaat setelah ditetapkan sebagai pemenang Pelpres 2019. Maka pada saat yang bersamaan publik  pun mencoba menerka-nerka siapa saja profil anak muda Indonesia yang layak mendapat kehormatan ditunjuk menjadi salah satu anggota Kabinet untuk masa bhakti 2019 - 2024.
Indonesia memang tidak kekurangan anak-anak muda bertalenta di atas rata-rata. Akan tetapi karena faktor budaya, antara lain karena sikap ewuh pakewuh, sehingga talenta-talenta muda dengan semangat luar biasa dari anak bangsa ini seakan "terbenam" dalam hiruk pikuk rasa hormat dan larangan melangkahi yang tua.
Sehingga dalam rentang waktu lebih dari separuh abad, kecuali di masa-masa awal kemerdekaan RI, anak-anak muda Indonesia harus menepi (jika tidak ingin menggunakan istilah marginalisasi) dan menjadi bayang-bayang generasi tua. Anak-anak muda bertalenta, tak sekalipun mendapat kesempatan untuk memimpin sebuah departemen (kementerian).
Kalaupun ada, hal itu hanya sebagai apresiasi atau reward  (terutama di masa Orba) terhadap dedikasi dan loyalitas mereka yang telah dengan sengaja mencoba menapaki karier melalui jalur organisasi pemuda plat merah.
Sebut saja organisasi pemuda seperti KNPI, AMPI, Kosgoro, dan beberapa organisasi pemuda lainnya yang berafiliasi dengan rejim Orba saat itu. Atas kerja keras mereka ikut terlibat dalam doktrin "belum ada yang bisa menggantikan pemimpin Orba saat itu", Soeharto menghadiahi pemimpin organisasi pemuda itu dengan mendapuknya menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora).Â