Mohon tunggu...
Nurdin Taher
Nurdin Taher Mohon Tunggu... Administrasi - Keberagaman adalah sunnatullah, karena itu pandanglah setiap yang berbeda itu sebagai cermin kebesaran Ilahi. Surel : nurdin.en.te.70@gmail.com0

Lahir dan besar di Lamakera, sebuah kampung pesisir pantai di Pulau Solor, Flores Timur. Menempuh pendidikan dasar (SD) di Lamakera, kemudian melanjutkan ke SMP di Lamahala, juga kampung pesisir serta sempat "bertapa" 3 tahun di SMA Suryamandala Waiwerang Pulau Adonara, Flores Timur. Lantas "minggat" ke Ujung Pandang (Makassar) pada Juli 1989. Sejak "minggat" hingga menyelesaikan pendidikan tinggi, sampai hari ini, sudah lebih dari 30 tahun berdomisili di Makassar. Senantiasa belajar dan berusaha menilai dunia secara rasional dengan tanpa mengabaikan pendekatan rasa, ...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Meragukan Nadiem Meretas Pendidikan Menuju Indonesia Maju?

24 November 2019   08:32 Diperbarui: 24 November 2019   08:40 1658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
tangkapan layar oleh penulis

Oleh : eN-Te

Prolog

Tersebutlah di negeri ini, ketika ada yang berbau melawan arus (anti-mainstream) maka akan segera memantik gaduh. Terjadi polarisasi terhadap sebuah kebijakan yang dianggap "aneh". Ada yang pro, banyak pula yang kontra. Masing-masing punya argumentasi sendiri-sendiri.

Kelompok kontra setelah sebuah kebijakan itu ditetapkan sesegera itu pula memberikan reaksi negatif sebagai bentuk resistensi. Tapi tak sedikit pula yang memberikan respon positif sebagai perwujudan persetujuan.

Begitu pula dengan penunjukkan seseorang untuk menempati sebuah posisi tertentu. Apalagi posisi itu selama ini menurut tradisi hanya boleh diisi oleh orang-orang yang secara kultural konservatif sudah mengerti dan memahami betul secara luar dalam dari job description  (tugas pokok dan fungsi). Maka akan menjadi hal yang dianggap tabuh dan "melanggar" kepatutan jika tradisi yang sudah mapan itu kemudian secara paksa harus direformasi.

Loyalitas Berimbas Reward? 

Rumor tentang calon menteri berusia muda untuk pertama kali disampaikan oleh Presiden Jokowi sesaat setelah ditetapkan sebagai pemenang Pelpres 2019. Maka pada saat yang bersamaan publik  pun mencoba menerka-nerka siapa saja profil anak muda Indonesia yang layak mendapat kehormatan ditunjuk menjadi salah satu anggota Kabinet untuk masa bhakti 2019 - 2024.

Indonesia memang tidak kekurangan anak-anak muda bertalenta di atas rata-rata. Akan tetapi karena faktor budaya, antara lain karena sikap ewuh pakewuh, sehingga talenta-talenta muda dengan semangat luar biasa dari anak bangsa ini seakan "terbenam" dalam hiruk pikuk rasa hormat dan larangan melangkahi yang tua.

Sehingga dalam rentang waktu lebih dari separuh abad, kecuali di masa-masa awal kemerdekaan RI, anak-anak muda Indonesia harus menepi (jika tidak ingin menggunakan istilah marginalisasi) dan menjadi bayang-bayang generasi tua. Anak-anak muda bertalenta, tak sekalipun mendapat kesempatan untuk memimpin sebuah departemen (kementerian).

Kalaupun ada, hal itu hanya sebagai apresiasi atau reward  (terutama di masa Orba) terhadap dedikasi dan loyalitas mereka yang telah dengan sengaja mencoba menapaki karier melalui jalur organisasi pemuda plat merah.

Sebut saja organisasi pemuda seperti KNPI, AMPI, Kosgoro, dan beberapa organisasi pemuda lainnya yang berafiliasi dengan rejim Orba saat itu. Atas kerja keras mereka ikut terlibat dalam doktrin "belum ada yang bisa menggantikan pemimpin Orba saat itu", Soeharto menghadiahi pemimpin organisasi pemuda itu dengan mendapuknya menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora). 

Merombak Tradisi

Tradisi kursi Menpora yang diisi oleh kalangan pemuda yang menapaki karier melalui organisasi pemuda plat merah, mengalami perubahan ketika Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) memenangkan pertarungan pada periode kedua, Pilpres 2009. Menpora yang biasanya diisi oleh kalangan yang berasal dari organisasi pemuda, terpaksa terhenti, karena SBY memberikannya kepada Andi Alfian Mallarangeng (AAM), salah satu kader Demokrat. Meski pada saat itu masih tergolong muda dan energik (baca: pintar?).

AAM malah kemudian tersandung kasus korupsi proyek "istana hantu", pusat olahraga Hambalang, sehingga membuatnya harus mendekam di penjara untuk beberapa lama.

Di periode pertama Pemerintahan Jokowi juga menempatkan salah seorang kader partai yang juga tergolong masih muda di kursi Menpora. Meski cukup memberi harapan, Imam Nahrawi, karena berhasil dan sukses memimpin orkestra penyelenggaraan even olahraga berskala dunia, tapi sayang karena "terjebak" dalam permainan yang tidak sepatutnya dilakukan, maka harus keluar dari gelanggang (anggota kabinet) sebelum waktu demisioner. 

Selain Imam Nahrawi, di periode pertama Jokowi juga ada menteri yang masih tergolong berusia muda, yaitu Menteri Tenaga Kerja (Menaker), Hanif Dhakiri.

Akan tetapi, baik Imam Nahrawi maupun Hanif Dhakiri, ketika ditetapkan menjadi Menteri oleh Jokowi telah melebihi usia di atas kepala empat jika dilihat dari tahun kelahiran mereka. Sehinga ketika di periode kedua ini, Presiden menunjuk salah seorang menterinya yang masih berusia di bawah 40 tahun (tepatnya baru 35 tahun) untuk mengisi salah satu pos kabinet Indonesia Maju, publik seakan terperangah.

Apalagi pos itu bukan merupakan kementerian "ecek-ecek", melainkan bidang yang sangat berkaitan dengan sumber daya manusia (SDM) Indonesia.

Harus diakui bahwa penunjukkan Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) oleh Presiden Jokowi merupakan sebuah pertaruhan yang sangat berani. Tidak hanya sekedar anti-mainstream dari sebuah kebiasaan yang nyaris "dikeramatkan", tapi sekaligus sebagai perwujudan untuk melihat lompatan jauh dari kondisi saat ini. Lompatan mana dimaksudkan untuk mewujudkan visi Indonesia Maju pada tahun 2045. 

Sekilas tentang Nadiem dan Periode "Magang"

Jujur, ketika saya menulis tentang Mendikbud milenial, Nadiem Anwar Makarim (lebih kesohor disebut Nadiem Makarim), saya sedikit gamang. Pengetahuan saya tentang pendiri (founder) dan bos Gojek ini sungguh sangat terbatas.

Karena itu, saya harus berusaha mencari dan membuka referensi terkait Mendikbud milenial ini dari berbagai sumber yang mungkin dapat memberikan informasi.

Disebutkan bahwa Nadiem Makarim lahir di Singapura, pada 4 April 1984 (kompas.tcom). Ia merupakan anak ketiga dari pasangan ayah Nono Anwar Makarim dan ibu Atika Algadri. Sumber lain menyebutkan Nadiem merupakan anak laki-laki satu-satunya dari kedua pasangan suami istri ini.

Masa kecil Nadiem dihabiskan di Jakarta sebelum pindah dan melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) di Singapura. Meski lahir di Singapura, ternyata pendidikan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dilalui di Jakarta.

Pasca menamatkan SMA di Singapura, Nadiem kemudian melanjutkan pendidikan jenjang diploma (Sarjana di Indonesia) dan Magister di Amerika Serikat (AS). Tidak tanggung-tanggung kedua jenjang pendidikan tinggi itu dapat diselesaikan pada dua perguruan tinggi ternama di AS.

Untuk jenjang sarjana, Nadiem menyelesaikan di Brown Universty dengan mengambil jurusan International Relations dan jenjang magister dituntaskan di Harvard University dengan spesialisasi Business Of Administration. Dan rupanya Harvard University juga merupakan almamater sang ayah.

Tidak hanya itu prestasi Nadiem yang dapat melanjutkan pendidikan pada dua universitas ternama di AS. Bahkan ketika masih di bangku kuliah strata satu, Nadiem juga berhasil menjadi salah satu anggota pertukaran pelajar London School of Economics and Political Science di Inggris.

Selepas menuntaskan pendidikan magister di AS, Nadiem pun berkomitmen untuk balik kampung membangun negeri. Komitmen itu terbentuk karena menurut Nadiem, sejak kecil ia dan saudara-saudaranya sudah ditanamkan oleh kedua orangtuanya untuk mencintai tanah air (rasa nasionalisme).

"Walaupun dikenal sebagai lulusan universitas paling bergengsi di dunia, Nadiem Makarim tidak lupa diri. Ia lebih memilih kembali ke Indonesia untuk berkontribusi ketimbang bekerja di luar negeri" (sumber 1).

Padahal seperti kita tahu, sebagian dari anak negeri ini, ketika mendapatkan kesempatan sekolah dan belajar ke luar negeri, kemudian karena keahlian dan kompetensinya sehingga "dihargai" dan impaknya mendapatkan penghidupan yang layak di luar, sangat jarang untuk berpikir untuk pulang kampung membangun negeri.

Tidak dengan seorang Nadiem Makarim. Dia bahkan secara blak-blakan mengatakan, "Saya dididik dari kecil untuk kembali dan berkontribusi ke Tanah Air, walaupun seumur hidup lebih sering sekolah di luar negeri. Orangtua saya sangat nasionalis, dan karena itu passion saya untuk Indonesia sangat besar," (sumber 2).

Maka setelah menggengam gelar MBA, Nadiem pun kembali ke tanah air. Tentu saja dengan semangat untuk dapat memberikan kontribusi positif dan maksimal bagi kemajuan negeri besar nan permai bernama Indonesia ini.

Nadiem membuktikan tekadnya membangun negeri dengan mendirikan startup ternama transportasi berbasis online pertama di Indonesia. Maka pada tahun 2010 Nadiem bersama dua orang kawannya mendirikan stratup Gojek, yang kini menjadi PT. Aplikasi Karya Anak Bangsa.

Inspirasi mengembangkan startup transportasi berbasis online dia peroleh karena sering menggunakan jasa ojek. Menurut Nadiem, ia sering menggunakan jasa ojek untuk ke kantor karena kondisi Jakarta yang tidak terlalu kondusif dan rawan kemacetan.

Dari pengalaman menggunakan jasa ojek ini sehingga memunculkan sebuah ide untuk mengawinkan teknologi dan jasa ojek sebagai sebuah inovasi baru.

Menurut Nadiem, "Jika ada layanan transpor dan delivery (pengantaran) yang cepat dan praktis, pasti akan sangat membantu warga Jakarta," (sumber 3).

Karena itu, Gojek, tidak dapat dipungkiri merupakan perintis startup di bidang transportasi berbasis online pertama di Indonesia. Sehingga inovasi baru yang lahir dari ide kreatif seorang anak muda bertalenta besar inilah menjadi salah satu entry point  bagi Presiden Jokowi untuk mendapuk Nadiem Anwar Makarim sebagai nahkoda baru di Kemendikbud.

Sebelum mendirikan Gojek, Nadiem sempat "magang" di beberapa perusahaan ternama bertaraf internasional. Pertama kali seorang Nadiem "magang" pada tahun 2006 sekembalinya dari AS, langsung dipercaya sebagai Konsultan Manajemen di perusahaan konsultan Mckinsey & Company.

Ia kemudian berhenti sebagai konsultan di perusahaan tersebut karena harus melanjutkan pendidikan di Harvard University AS.

Petualangan Nadiem kemudian berlanjut  setelah menyelesaikan pendidikan magisternya. Yakni menjadi Co-Founder dan sekaligus sebagai Managing Editor di Zalora Indonesia.

Bosan di Zalora Indonesia, meski memegang posisi penting ia kemudian beralih "magang" di startup lainnya. Maka startup berikutnya sebagai tempat untuk melanjutkan periodenya untuk "magang", Nadiem memilih sebuah perusahaan penyedia layanan pembayaran nontunai di Indonesia, KartuKu. Rupanya nama Nadiem, adalah jaminan mutu, bukan kualitas original kelas KW.

Karena itu di perusahaan startup penyedia layanan pembayaran nontunai ini pun, kemampuan Nadiem sangat dihargai sehingga didapuk sebagai CIO (Chief Innovation Officer).

Di kemudian hari setelah mendirikan Gojek dan berkembang pesat, perusahaan ini diakuisisi untuk memperkuat lini Gopay yang menjadi bagian dari Gojek.

Nadiem dan Keraguan Mewujudkan Visi Indonesia Maju

Kehadiran Nadiem, bagi kalangan warga net (netizen) merupakan sebuah fenomena tersendiri. Bagi nitezen Indonesia, Nadiem nyaris identik dengan Gojek. Nadiem adalah Gojek, dan Gojek adalah Nadiem.

Sehingga segera setelah Nadiem diundang ke Istana oleh Presiden pada 21 Oktober 2019, langsung disambut keriuhan yang gegap gempita oleh netizen dengan meme-meme yang menggelitik penuh jenaka nan satir.

Setidak-tidaknya ada banyak meme yang cukup jenaka nan satir sebagai representasi keriuhan warga net menyambut sang nahkoda baru Menteri Pendidikan (Mendikbud) yang baru.

Salah satu netizen menulis, "setelah Nadiem menjabat Mendikbud, "di kelas, (terjadi dialog antara guru dan siswa), hari ini belajar apa anak-anak? (Siswa-siswi pun menyambut), sesuai aplikasi Pak". Lain lagi dengan netizen lainnya, menulis, "Nadiem Makarim jadi Mendikbud, kini tiap UKS sekolah dilengkapi dengan terapis go massage" (sumber 4).

Masih banyak kejenakaan meme-meme netizen yang mnegundang senyum,tapi salah dua itu sudah cukup menggambarkan bagaimana "respek" warga net terhadap kehadiran seorang Nadiem.

Suara "penolakan" tidak hanya diekspresikan melalui meme-meme menggelitik, tapi juga datang dari ormas seperti Muhammadiyah dan pengamat. Muhammadiyah sebagaimana diungkapkan oleh salah seorang Pengurus PP Muhammadiyah, Fahmi Salim, bahwa Muhammadiyah merasa kaget dan kecewa, karena selama ini secara tradisi posisi Mendikbud diisi oleh kalangan Muhammadiyah (sumber 5).

Sementara para pengamat juga secara tidak langsung meragukan kapasitas dan kemampuan seorang Nadiem membawa perubahan pendidikan Indonesia. Antara lain datang dari Koordinator Jaringan Pemantauan Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji. Menurut JPPI, Nadiem Makarim belum teruji untuk menangani birokrasi pendidikan yang cukup kompleks (sumber 6).

Setali tiga uang, Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI), M. Ramli Rahim, juga menunjukkan sikap resisten, dan malah secara sarkastis menyindir Nadiem. Ketum IGI ini dengan sinis menyindir, "... tahu apa Nadiem soal pendidikan negeri ini?" (sumber 7). Pernyataan yang sombong dan arogan! Pertanyaannya, kalau Ketum IGI tahu segala hal tentang masalah pendidikan, mengapa Jokowi harus menunjuk Nadiem? Aya-aya wae!

Meski banyak yang meragukan kapasitas dan kemampuan seorang Nadiem, ada juga yang memberikan sambutan positif. Hal itu ditunjukkan oleh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). PGRI melalui Ketum PGRI Pusat, Unifah Rosyidi, mengimbau semua unsur organisasi yang dipimpinnya itu, di pusat maupun daerah, untuk mendukung penunjukan Nadiem Makarim sebagai mendikbud di Kabinet Indonesia Maju (sumber 8).

Tentu saja masih banyak suara-suara sumbang yang ingin menegasikan profil dan kapasitas serta kemampuan seorang Nadiem dalam memimpin birokrasi raksasa seperti Kemendikbud. Sperti kekhawatiran salah seorang Guru Besar UGM (sumber 9), dan anggota DPR (sumber 10).

Bahkan pada suatu kesempatan ada kegiatan di Makassar (LPMP) yang mengundang peserta dari Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, salah seorang peserta dengan menyentil menyebut bahwa bukan hanya karena seseorang memiliki sedikit kemampuan di bidang digital langsung dipercayakan untuk mengurus pendidikan.  

Nadiem, Profil Tepat Merevolusi Pendidikan Indonesia?

Setelah puas malang melintang "magang" di beberapa perusahaan ternama, naluri enterpreneurship Nadiem pun bergejolak. Berkaca pada pengalaman sehari-hari menggunakan jasa layanan ojek, dari sanalah ia mulai memikirkan untuk membuat sebuah inovasi berbasis digital dengan mengintegrasikan teknologi dan layanan ojek.

Rupanya, selama menggunakan jasa layanan ojek, telah memberikan banyak pelajaran berharga dan membuka wawasannya, bagaimana membuat sebuah inovasi yang tidak hanya menguntungkan dari segi bisnis tapi juga bermanfaat bagi kehidupan sosial secara keseluruhan.

Pameo mengatakan, bahwa pengalaman mengajarkan segalanya, telah menjadi inspirasi yang sangat berharga bagi lahirnya sebuah ide brillian.

Ide mendirikan Gojek, seperti diakui sendiri oleh Nadiem bermula dari pengalaman sehari-hari menggunakan jasa layanan ojek ke kantor. Dapat dikatakan bahwa munculnya ide futuristik untuk dapat memanfaatkan teknologi secara maksimal bagi kehidupan sosial, tak lepas dari cara kita melihat dan memaknai kondisi dan interaksi sosial di kehidupan masyarakat kita.

Dan Nadiem telah membuktikan, bahwa tidak hanya berhenti pada ide, tapi juga sekaligus mengaplikasikan secara faktual di lapangan.

Waktu kemudian membuktikan bahwa ide kreatif yang lahir dari proses interaksi sosial tanpa harus dibatasi oleh sekat-sekat primordial telah melahirkan sebuah karya besar yang sangat bermanfaat bagi masyarakat dan kemajuan sebuah negeri. Terbukti, sampai sejauh ini, Gojek sebagai layanan jasa transportasi berbasis online telah bertransformasi sebagai salah satu perusahaan startup tersukses di Indonesia yang berada di level Decacorn (sumber 11).

Melihat rekam jejak (track record) keberhasilan dan kesuksesan dalam mengembangkan inovasi berbasis digital dengan memanfaatkan dan mengintegrasikan teknologi dan kebutuhan riil masyarakat, menjadi salah satu faktor yang mendorong Presiden Jokowi di periode keduanya ini mempercayakan Kemendikbud dinahkodai seorang Nadiem Makarim. Presiden Jokowi kepincut kepada Nadiem bukan hanya sekedar ingin melawan arus. Tapi, kepada Nadiem, Presiden memberikan tanggung jawab untuk memastikan visi Indonesia Maju benar-benar dapat terwujud pada tahun 2045.

Presiden tidak hanya menunjuk orang untuk menempati sebuah posisi, juga seperti halnya Nadiem untuk Kemendikbud. Menurut Presiden Joko Widodo, "pada era ini perlu penguatan data dan perlu orang yang memiliki pengalaman bagaimana mengelola sebuah data sehingga bisa memprediksi masa depan".

Karena itu, lanjut Presiden, bahwa "Perlu orang yang mengerti bagaimana mengimplementasikan inovasi-inovasi yang ada. Berani keluar dari kotak, berani out of the box, berani tidak rutinitas, berani tidak monoton sehingga akan memunculkan sebuah loncatan-loncatan besar yang itu saya melihat pengalaman dari yang muda-muda bisa mendukung itu," (sumber 12). Pernyataan Presiden itu kemudian dipertegas oleh Nadiem sendiri. 

Menurut Nadiem, alasan mengapa dia yang dipilih Presiden untuk pos Kemendibud, "... walaupun saya bukan dari sektor pendidikan adalah pertama saya lebih mengerti, belum tentu mengerti, tapi lebih mengerti apa yang akan ada di masa depan kita" (sumber 13).

Meski pernyataan Nadiem terakhir cenderung kedengarannya terlalu optimis, tapi saya menaruh harapan besar akan besarnya pengaruh yang akan ditorehkan seorang Nadiem dalam "merevolusi" Pendidikan Indonesia. Keyakinan ini diperkuat oleh pernyataan seorang teman (Widyaiswara), bahwa menurutnya Mendikbud yang baru ini mempunyai visi pendidikan yang (menjangkau) jauh ke masa ke depan.

Epilog

Usia Kabinet Indonesia Maju belum juga seumur jagung. Belum pula mencapai 100 hari pertama. Sehingga bila kita memkasakan diri untuk melakukan penilaian terhadap kinerja seorang Menteri, maka hal itu terlalu prematur.

Biarlah waktu yang menjadi hakim yang paling jujur untuk menilai, seberapa tepat dan akurat insting seorang Presiden dalam mendapuk seseorang untuk memimpin sebuah kementerian. Tak terkecuali untuk seorang Nadiem Anwar Makarim, Mendikbud periode 2019-2024.

Insting Presiden itu relatif tepat jika kita coba melihat proses penunjukkan mantan Menteri Perikanan dan Kelautan, Susi Pudjiastuti. Di awal penunjukkan Susi Pudjiastuti juga sangat ramai dengan berbagai cibiran, celotehan "merendahkan", tapi waktu kemudian membuktikan banyak hal yang telah dilakukan selama mengemban amanah sebagai Menteri Perikananan dan Kelautan yang mengundang decap kagum. Tentu saja di antara berbagai apresiasi atas prestasi itu, banyak juga yang perlu disempurnakan.    

Kembali ke Nadiem! Meski dibayangi rasa pesemisme atas alas apriori dari beberapa kalangan yang merasa "dilangkahi", tidaklah hal itu menjadi penghalang bagi seorang Nadiem untuk mewujudkan visi pendidikan Indonesia Maju.

Karena itu, saya sangat bergembira (ketika menonton live TV) saat keluar dari istana setelah dipanggil Presiden, menjawab wawancara wartawan, Nadiem dengan sangat lantang berujar, "Saya akan membawa Indonesia maju ke panggung dunia".

Dengan alasan-alasan tersebut di atas maka tidak menjadi relevan jika masih ada saja yang secara apriori dan bersikap pesemis nan sinis untuk menunjukkan resistensi terhadap kehadiran seorang anak muda bertalenta di tampuk puncak Kemendikbud. Apapun celoteh di luar yang menyangsikan kemampuan seorang Nadiem, biarlah waktu yang menentukan!

Bagi saya, kapasitas dan kemampuan seseorang tidak hanya diukur selama dia memegang sebuah posisi pada suatu rentang waktu tertentu, tetapi hal itu dapat dilihat seberapa panjang rentang waktu yang telah dilalui, seberapa jauh karya dan jejak langkah yang telah diukir sebelumnya. Tak masalah, apakah rekam jejak dan karya besar yang dilakukan sebelumnya mempunyai relevansi dan korelasi secara langsung dengan posisi dan tugas fungsi pada posisi baru itu.

Dengan demikian, menurut saya, revolusi pendidikan Indonesia itu sudah dimulai. Tengoklah bagaimana seorang Nadiem mencoba keluar dari pakem normatif yang sudah menjadi tradisi terkait naskah pidato resmi pada sebuah acara Pendidikan berskala nasional.

Bahkan secara eksplisit, Nadiem menyebutkan bahwa pidato seragam pada Hari Guru Nasional 2019 kali ini dia tidak ingin hanya berisi kata-kata inspiratif penuh retoris(k). Tetapi sedikit menyentil, Nadiem menegaskan bahwa pidatonya kali ini sedikit berbeda dari tradisi pidato resmi pejabat Pemerintah selama ini.

Di akhir tulisan ini saya ingin mengutip satu kalimat pidato yang menunjukkan janji Nadiem untuk perubahan pendidikan Indonesia yang lebih maju. Nadiem menegaskan, "Satu hal yang pasti, saya akan berjuang untuk kemerdekaan belajar di Indonesia".

Nadiem sudah berjanji. Revolusi Pendidikan Indonesia sudah dimulai, mari mengawal dan bergerak bersama untuk menyongsong visi Indonesia Maju pada 2045!

Karena itu saya sangat yakin bahwa seorang Nadiem, "bukanlah orang yang salah pada tempat yang salah". Tapi dari berbagai pengalaman yang telah membentuknya, saya optimis di tangan seorang Nadiem, pendidikan Indonesia dapat menemukan "bentuknya".

Wallahu a'lam bish-shawabi

Makassar, 23 November 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun