Jokowi mengenang Prof. B. J. Habibie sebagai seorang sosok negarawan yang layak menjadi suri tauladan. Menurut Jokowi, "Jadi, saya kira beliau adalah seorang negarawan yang patut kita jadikan contoh dan suri tauladan di kehidupan," (sumber).
B. J. Habibie untuk pertama kali ditunjuk dan diangkat menjadi Menristek pada tahun 1978 oleh Mantan Presiden Soeharto setelah sebelumnya kembali ke tanah air atas permintaan Presiden Soeharto. Sebelum ditunjuk dan diangkat menjadi Menristek, B. J. Habibie mengembangkan kariernya di Jerman tepatnya di perusahaan penerbangan yang berpusat di Hamburg, yakni Messerschmitt Bolkow Blohm (sumber).
Mendengar salah seorang anak bangsa yang memiliki potensi luar biasa di luar negeri, Presiden Soeharto, kemudian berinisiatif memanggil pulang Habibie. Maka pada tahun 1973 Habibie pun kembali ke tanah air atas permintaan Presiden Soeharto dan langsung diberi kepercayaan menjadi Menristek.
Sejak ditunjuk dan menjabat sebagai Menristek, beliau langsung membuat gebrakan untuk mewujudkan mimpinya menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara maju. Bagi Habibie negara ini harus membuat lompatan-lompatan besar untuk membuktikan potensinya agar dapat diperhitungkan di kancah dunia Internasional. Dan semua itu harus berbasis riset dan teknologi.
Gagasan besar Habibie yang ingin menjadi Indonesia sebagai sebuah negeri yang dapat dibanggakan di bidang teknologi itu dirumuskan dalam sebuah tulisan ilmiah yang bertajuk "Sophisticated Technologies: Taking Toot in Developing Countries" yang terhimpun dalam International Journal of Technology Management (1990).
Menurut Habibie, bahwa bangsa ini harus melakukan lompatan-lompatan besar dalam "Visi Indonesia" yang bertumpu kepada riset dan teknologi. Bagi B. J. Habibie, Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris dapat melompat langsung menjadi negara industri jika mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (sumber).
B. J. Habibie, mencapai puncak karier politik ketika pada 1998 terjadi "gejolak" politik yang membuat Soeharto harus lengser ke prabon. Dengan Lengsernya Soeharto membuka jalan bagi bagi B.J.Habibie untuk mencapai puncak karier di bidang politik, meraih tampuk kekuasaan sebagai Presiden RI. Karena secara otomatis dengan mundurnya Soeharto  maka kekuasaan sebagai Presiden beralih ke pundak B. J. Habibie, yang ketika itu menjabat sebagai Wakil Presiden RI.
Sejak menerima mandat sebagai Presiden ke-3 menggantikan Soeharto, beliau menerima warisan permasalahan bangsa yang sungguh luar biasa. Terutama masalah krisis ekonomi, yang ditandai dengan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Tapi dengan kepiwaiannya, beliau mampu menurunkan gap nilai tukar rupiah terhadap dollar, dari Rp. 16.800,- ke angka Rp. Rp. 7.000,- Rp.8.000,- di akhir pemerintahannya.
Sayangnya, kepiawaian beliau dalam menangani masalah moneter sungguh tidak berbanding lurus dengan apresiasi yang harus beliau terima dari bidang politik. Terutama menjelang pemilihan Presiden pascapemilu tahun 1999. Beleidnya untuk memberi kesempatan kepada rakyat Timor Timur (sekarang Timor Leste) untuk menentukan sikap melalui referendum, menjadi bumerang dan berakibat buruk terhadap karier politiknya lebih lanjut.
Terbukti kemudian, pada sidang umum MPR tahun 1999, pertanggungjawabannya sebagai mandataris ditolak MPR, sehingga membuat beliau harus menutup harapannya berlaga dalam pemilihan Presiden periode berikutnya, 1999-2004.
Beliau mundur dari pencalonan menjadi Presiden, meski masih banyak fraksi yang menginginkan agar beliau tetap maju bertarung. Karena beliau sangat menjunjung tinggi etika politik, maka dengan jiwa besar beliau menolak untuk tetap dicalonkan.