Oleh : eN-Te
Semakin ke sini, mendekati tahun politik, semakin panjang saja daftar kecurigaan yang coba diarahkan untuk membentuk stigma buruk terhadap Pemerintahan yang dipilih melalui proses demokratis tahun 2014. Sejak memenangkan pertarungan secara head to head tahun 2014, sepanjang perjalanan kepemerintahannya tak pernah sepi dari berbagai intrik politik yang dibalut kecurigaan yang semakin menggurita. Baik peristiwa lawas maupun peristiwa actual, sedemikian rupa sengaja digiring untuk membentuk opini. Sayangnya dalam banyak hal opini yang dicobabentukkan itu cenderung bias, sangat tidak mendidik dan hanya warna warni isapan jempol yang tendensius menyesatkan. Bukan memberi edukasi yang baik dan benar, melalui pencerahan seraya membuka cakrawala, malah semakin membenamkan publik dalam kebodohan yang tak berujung.
Daftar panjang akan tersusun rapi tentang kecurigaan yang kemudian salah kaprah membentuk stigma "tidak layak" terhadap rejim yang berkuasa saat ini, bila kita mencoba menengok jauh ke belakang sehingga harus mendapat penolakan dari sebagian kelompok masyarakat negeri ini yang gagal move on. Di mata mereka rejim saat ini (baca Joko Widodo, Jokowi), bukan gue banget, sehingga tidak perlu dibanggakan, apalagi dihormati. Dalam konteks itu, segala apa harus ditimpakan kepada rejim yang berkuasa saat ini sebagai orang yang paling bertanggung jawab. Padahal semua persoalan itu adalah akumulasi dari semua rejim yang pernah berkuasa, satu rejim ke rejim yang lain.Â
Ketika ketentuan hukum mengharuskan seseorang yang terlibat sebuah kasus hukum (pidana), sehingga harus diproses, tanpa melihat latar belakang dan status sosialnya, dengan serta merta terhadap pemimpin puncak eksekutif di negeri ini dilekatkan stigma miring. Ketika ada kasus hukum yang melibatkan tokoh agama, serta merta rejim berkuasa dicap sebagai sedang melakukan kriminalisasi. Padahal kasus yang terjadi dan melibatkan oknum tokoh agama itu jelas-jelas ada dan dapat dibuktikan. Di lain pihak, ketika ada pihak yang berseberangan dengan kelompoknya, tanpa harus menunggu pake lama, mobilisasi massa dan opini bergerak secara simultan menuntut Pemerintah harus tegas menegakkan hukum.Â
Ketika ada lembaga yang mempunyai tugas dan fungsi mencetak kitab suci agama, karena berbagai alasan sehingga gedung dan peralatan harus direnovasi dan diperbarui, sehingga menghambat proses percetakan kitab suci diisukan bahwa rejim saat ini sedang melakukan upaya pendangkalan akidah melalui penghentian pencetakkan kitab suci. Padahal semua itu, sangat jauh dari fakta yang sesungguhnya. Kementerian Agama pun melakukan klarifikasi.
Ketika pemerintah atas nama konstitusi harus membubarkan organisasi masyarakat (ormas) tertentu yang melakukan "kegiatan makar" yang berpotensi sangat mengganggu keberagaman, dan secara kasat mata inkonstitusional ingin mengganti ideologi Negara dicap sebagai rejim otoriter yang sedang ingin membangun "imperium thogut" yang jauh dari nilai-nilai syari'ah.
Ketika proses gugatan terhadap keabsahan pembubaran ormas itu sedang berjalan, muncul berita dari sumber media tak jelas, yang dibagikan di media sosial bahwa pengacaranya telah menang gugatan di pengadilan, tapi media mainstream tidak memberitakan, Â sambil menunjuk telunjuk bahwa pemerintah diam saja (baca : Jubir HTI). Padahal faktanya sampai hari ini proses peradilan atas gugatan itu masih sedang berlangsung. Belum ada sama sekali keputusan inkracht atas gugatan itu.
Ketika seseorang dengan label tokoh agama yang diundang untuk menyampaikan ceramah (entahlah nanti di sana menyampaikan tausyiah atas nama kebenaran sambil 'provokasi'), kemudian atas nama otoritas dan kewenangan keimigrasian setempat sehingga harus mendeportasi (baca menolak masuk), ditafsir-tafsirkan dengan mengkaitkan berbagai hal agar terbentuk opini bahwa ada relasi dan komunikasi terselebung dari Pemerintah dengan otoritas Negara setempat itu. Padahal masalah tersebut menjadi kewenangan mutlak Negara tersebut, mau menerima atau menolak yang bersangkutan tanpa terpengaruh oleh intervensi politik dari pemerintahan manapun. Maka jagat politik dalam negeri pun ramai oleh sorak-sorai sumpah serapah yang ditujukan kepada Pemerintah. Lagi-lagi Pemerintah menjadi kambing colek di mata para pemuja Capres gagal.
Ketika beberapa tokoh agama (sebut saja ustadz dan kiyai) yang mendapat perlakuan tindakan kekerasan dari orang yang terindikasi kuat berkelainan mental (baca orang gila) malah dipolitisir sedemikian rupa bahwa kejadian tersebut merupakan hal yang sebenarnya telah "dikondisikan". Bahkan secara sengaja merekayasa video dengan menjadikan orang gila  yang ditangkap itu menjadi aktor dadakan dengan mengakui bahwa dia merupakan anggota PKI. Dengan begitu mereka bisa mengklaim bahwa paham komunis (PKI) sedang bangkit di Indonesia.
Sementara pada saat yang bersamaan ketika seseorang melakukan tindakan anarkhis, membuat rusuh dalam sebuah tempat ibadah di mana umat sedang melaksanakan ibadah, kemudian atas penyelidikan dan investigasi, terbukti berafiliasi dengan kelompok radikal, melaksanakan misi terror, dicurigai pula sebagai upaya terstruktur, sistematis, dan massif (TSM) sedang mendiskreditkan umat Islam. Mereka bahkan tidak mau percaya dan menolak dengan keras fakta berdasarkan pemeriksaan Polri atas landasan yuridis dan ilmiah (kesehatan). Mereka tetap pada keyakinan bahwa hal tersebut berkaitan dengan rejim yang berkuasa saat ini. Malah lebih jauh mengkaitkan rentetan kejadian itu sebagai bagian yang tak terpisahkan dari modus yang pernah dipraktekkan oleh partai terlarang. Mereka bahkan secara terang-terangan menyebut sebagai pertanda sedang bangkitnya PKI.
Tapi ketika Pemerintah menunjukan kepedulian dan perhatian terhadap nasib umat Islam, dan memberi bantuan baik di dalam negeri, terlebih terhadap penderitaan umat muslim di negara lain yang saban hari mendapat perlakuan tragis dari rejim Pemerintah sendirinya, malah dinilai sebagai sebuah pencitraan. Benar-benar logika koplak calon pemimpin dengan solidaritas semu calon pemimpin.Â