Begitu pula dengan sepak terjang elit-elit Partai Gerindra yang cenderung bersikap 'nyinyir' ketimbang mengkritisi secara cerdas terhadap kinerja petahana. Hal-hal yang bersifat personal lebih menjadi fokus perhatian mereka untuk mengkritisi petahana ketimbang komitmen membangun negri besar di latar khatulistiwa ini benar-benar menjadi zamrud. Bukan malah terus mencoba 'mereduksi' citra petahana hanya pada aspek privat. Sebab atensi yang berlebihan dengan terus menerus mencoba 'menghabisi' petahana dari sisi personal (sesuatu yang menjadi hak privasi seseorang, entah rakyat biasa atau dia seorang Presiden) hanya akan menjadi boomerang yang akan memukul balik. Seakan sudah kehabisan akal (sehat), sehingga gawean pernikahan anak petahana pun menjadi bahan atau komoditas politik yang tidak menarik.
Hanya di kalangan sendiri saja 'komoditas' itu terasa renyah, tapi sebenarnya secara faktual itu sudah keluar dari pakem dan fatsun politik. Para fans seakan mendapat 'angin surga' atas nyiyiran ala elit Partai Gerindra pada gawean pernikahan anak Presiden sehingga bergembira ria dengan meme-meme yang tidak saja tidak lucu, tapi malah mencerminkan kedangkalan nalar. Seakan tidak ada lagi amunisi yang dapat digunakan untuk menyerang petahana, apa saja yang ada di 'otaknya' (maaf otak saya kasih tanda petik untuk menggambarkan ketengilan yang tak terukur) ditumpahkan keluar tanpa harus terlebih dahulu melakukan filterisasi secara memadai melalui proses penyaringan yang wajar.
Semua itu hanya karena satu alasan pasti, yakni menumpahkan kebencian. Rasa benci yang berlebih, membuncah, yang dibumbui pula oleh dengki dan iri yang menyayat maka akan mematikan rasio secara tidak bermartabat. Maka mereka melakukan 'degradasri' kepada seseorang hanya karena mengekspresikan sikap humanismenya (misal Jokowi menyekop tanah untuk diberikan kepada Raja Arab Saudi ketika menanam pohon di istana, dan atau seorang Gubernur yang tanpa harus merasa risih, apalagi gengsi untuk turun memeriksa langsung kondisi got) di anggap sebagai mental 'babu'. Mungkin mereka lebih suka punya pemimpin yang hanya bisa main tunjuk dengan telunjuk jarinya, "lakukan itu, untuk saya duli tuanmu"!
Padahal esensi kepemimpinan adalah menggerakkan dan melayani. Bukan hanya mau dilayani dan dihormati, tapi lupa menghargai. Pemimpin seperti ini sebenarnya hanya mau disanjung, bersamaan dengan itu lupa mengayomi. Hanya bisa menggurui tapi lupa memberi teladan dan contoh.
Mereka lupa dengan kisah kepemimpinan Khalifah Umar Ibn Khattab. Dalam posisinya sebagai khalifah, Umar Ibn Khattab, rela memanggul sekarung gandum ke rumah seorang janda tua yang sedang mengkamuflase menanak batu hanya untuk menenangkan anaknya yang sedang kelaparan. Umar Ibn Khattab rela langsung memanggul sendiri sekarung gandum diantarkan ke rumah janda itu untuk 'menebus' rasa bersalah telah mengabaikan rakyatnya yang kelaparan. Tidakkah ini contoh baik sebagai perwujudan langsung dari esensi kepemimpinan dan implementasi humanisme seseorang. Termasuk juga seorang Presiden yang rela memayungi Kepala Pemerintahan negara lainnya. Itu adalah sisi humanisme seorang Presiden yang berlaku hormat dan menghargai, bukan karena merasa inferior terhadap tamu yang sedang berkunjung.
Pantaslah kemudian publik merasa masygul ketika Prabowo mengkritisi langkah Pemerintah memberi bantuan kepada pengungsi Rohingya sebagai pencitraan. Entah sikap humanisme yang seperti apa yang dianut oleh Prabowo sehingga bantuan kemanusiaan dinilai dalam lanskap yang sangat kecil, untuk pencitraan politik semata. Antara naif dan ambisi menjadi hal yang sangat kabur.
Dalam perspektif seperti itulah kemudian saya harus berpendapat bahwa seorang Prabowo itu sudah out of date. Expired!
Wallahu a'lam bish-shawabi
Makassar, 13112017
Â
 Â
Â